Empat hari lalu, seorang kakak dari jauh cerita. Dia sekarang tinggal di salah satu kota di Amerika sana. Dia cerita kembali ke bangku kuliah dan bertemu kawan-kawan baru serta dosen-dosen yang membuatnya berpikir soal agama.
Mereka kebanyakan terutama para dosen yang dia temui tidak percaya lagi sama agama. “Mereka hanya percaya bahwa manusia harus bahagia bersama manusia lain. Menghargai dan tidak menyakiti, apalagi merebut hak orang lain. Maka semua baik-baik saja,” itu kalimat yang meluncur dari perbincangannya dan dia menyetujui pendapat ini.
Beberapa tahun lalu, bukan di luar sana tapi di Jakarta ini. Seorang kawan mengaku atheis, bukan lagi tak percaya agama tapi juga Tuhan.
Saya memandang matanya usai dia mengatakan itu. Adakah kekecewaan besar disana? Hingga dia harus melepaskan sebuah kepercayaan. Dia punya banyak teori menjelaskan pengakuannya.
Keterkejutan saya bukan soal apa yang dipercayai saat ini. Tapi, apa yang dia percayai sebelumnya. Saya kagum terhadapnya karena kecerdasannya yang di atas rata-rata dan cara berpikirnya yang luar biasa. Dia tangguh dan yang saya yakini sebelumnya, agamanya begitu tangguh dengan hijab syar’i yang dia kenakan.
Satu hal yang saya ingat dari kata-katanya,”Kita selama ini dibodohi dengan pemikiran agama soal Tuhan.”
Saya tersenyum sambil meminum es kopi di sebuah cafe yang kata sebagian orang haram meminumnya karena didirikan oleh penganut LGBT. Dia mencoba mengalirkan sebuah pemahaman manusia tanpa Tuhan, sama seperti yang kebanyakan orang tidak percaya lagi di beberapa negara di luar sana.
Satu kalimat yang saya ucapkan kepadanya,”Saya sampai saat ini tidak pernah bisa melihat angin dan udara yang saya hirup tapi saya percaya itu ada karena setiap angin bergerak, terasa di kulit saya, begitu juga saat saya bernapas. Lalu, bagaimana bisa saya tidak percaya Tuhan.”
Kami hanya tertawa menyudahi perbicangan sambil menyeruput kopi yang nyaris habis di gelas kami dan hari juga sudah beranjak malam. Kami tetap bersahabat dan ngopi bareng meski kami memiliki keyakinan berbeda.
Fanatisme buat agama kian ditinggalkan. Tak hanya soal kewajiban yang harus dijalankan tapi soal pemahaman Ketuhanan yang dibutakan dengan status majority. Kalau sudah ada yang mulai menanggalkan Tuhan dalam hatinya, bukan tak mungkin akan terus ada yang pergi dari Tuhan, seperti kawan saya.
Catatan malam ini
Smoga "Sang Sahabat" tetap mencintai dan berada di sisi saya...
Mereka kebanyakan terutama para dosen yang dia temui tidak percaya lagi sama agama. “Mereka hanya percaya bahwa manusia harus bahagia bersama manusia lain. Menghargai dan tidak menyakiti, apalagi merebut hak orang lain. Maka semua baik-baik saja,” itu kalimat yang meluncur dari perbincangannya dan dia menyetujui pendapat ini.
Beberapa tahun lalu, bukan di luar sana tapi di Jakarta ini. Seorang kawan mengaku atheis, bukan lagi tak percaya agama tapi juga Tuhan.
Saya memandang matanya usai dia mengatakan itu. Adakah kekecewaan besar disana? Hingga dia harus melepaskan sebuah kepercayaan. Dia punya banyak teori menjelaskan pengakuannya.
Keterkejutan saya bukan soal apa yang dipercayai saat ini. Tapi, apa yang dia percayai sebelumnya. Saya kagum terhadapnya karena kecerdasannya yang di atas rata-rata dan cara berpikirnya yang luar biasa. Dia tangguh dan yang saya yakini sebelumnya, agamanya begitu tangguh dengan hijab syar’i yang dia kenakan.
Satu hal yang saya ingat dari kata-katanya,”Kita selama ini dibodohi dengan pemikiran agama soal Tuhan.”
Saya tersenyum sambil meminum es kopi di sebuah cafe yang kata sebagian orang haram meminumnya karena didirikan oleh penganut LGBT. Dia mencoba mengalirkan sebuah pemahaman manusia tanpa Tuhan, sama seperti yang kebanyakan orang tidak percaya lagi di beberapa negara di luar sana.
Satu kalimat yang saya ucapkan kepadanya,”Saya sampai saat ini tidak pernah bisa melihat angin dan udara yang saya hirup tapi saya percaya itu ada karena setiap angin bergerak, terasa di kulit saya, begitu juga saat saya bernapas. Lalu, bagaimana bisa saya tidak percaya Tuhan.”
Kami hanya tertawa menyudahi perbicangan sambil menyeruput kopi yang nyaris habis di gelas kami dan hari juga sudah beranjak malam. Kami tetap bersahabat dan ngopi bareng meski kami memiliki keyakinan berbeda.
Fanatisme buat agama kian ditinggalkan. Tak hanya soal kewajiban yang harus dijalankan tapi soal pemahaman Ketuhanan yang dibutakan dengan status majority. Kalau sudah ada yang mulai menanggalkan Tuhan dalam hatinya, bukan tak mungkin akan terus ada yang pergi dari Tuhan, seperti kawan saya.
Catatan malam ini
Smoga "Sang Sahabat" tetap mencintai dan berada di sisi saya...
Komentar
Posting Komentar