Awalnya gw ga tau, apa LGBT itu? Serius gak tau. Gw pikir lembaga apa getu. Sampai om Google ngasi tau singkatannya. Maklum, gw gak gaul.
Dalam beberapa hari ini, timeline gw isinya singkatan itu. Dari mulai singkatan asli, sampai plesetan ala alay, lebay sampai singkatan ngarep.
Ada yang mendukung, ada yang protes keras. Ada yang bertameng agama, ada yang berstandar pada kemanusiaan. Gara-gara pemilik kedai kopi dukung LGBT, minuman di dalam perut jadi haram. Gara-gara komputer yang bikin LGBT, yang gunain dianggap munafik.
Bingungkan? Nulis status mengarah kemanusiaan dibilang dukung LGBT. Taruh status dalil-dalil agama, dibilang ilmunya dah ketinggian. Indonesia banget lah.
Kalau menyinggung satu ini, jadi ingat teman waktu kuliah. Dia traktir gw saat ingin curhat. Curhatnya ya soal LGBT ini. Dia sedang memilih untuk jadi pria sejati atau mengikuti sisi lain dirinya, alias gay. Makanan yang gw makan haram dong? OMG..."Tuhan maafkan aku sebagai teman saya tak bisa menolak traktiran itu."...#Doa kok disosmed (mau kliatan beragama?)
Dia cerita, dia anak laki satu-satunya di keluarga kaya di sebuah perumahan mewah di Depok. Ibunya dan kakak-kakak perempuannya sangat sayang sama dia. Ini jauh berbeda dengan sifat dan sikap ayahnya. Galak dan emosional.
Entahlah, apa hubungannya antara ayah galak sampai akhirnya dia berubah jadi gemulai. Pastinya dia lebih feminim karena pengaruh ibu dan kakak-kakaknya.
Mungkin, kalau yang pernah satu kampus, mengenal sosok ini. Dia pria bertubuh langsing dan putih, rambut keriting dan selalu menggunakan tas totte. Dari jalan dan caranya berbicara, semua orang akan tahu, dia sangat feminim sebagai laki-laki.
Dia pernah mengungkapkan kegelisahannya. "Tya, gimana neh, gw harus bersikap?" tanya dia saat meminta masukan.
Ditanya seperti ini gw bingung. Ilmu agama gw cetek, ga ada apa-apanya dibandingkan para ulama sosmed, tapi ya tahulah soal larangan-larangan kodrat sebagai manusia. Sebagai manusia, masa juga mengekang orang. Jadi, ya gw cuma bilang gini.
"Ven, dalam agama hal ini dilarang, lo sudah tahu konsekwensinya. Tapi, menyoal kemanusiaan, gw juga ga bisa melarang lo. Itu hak hidup lo."
Gw diomelin saat cerita ke teman lain karena ngomong seperti ini. Kenapa gak dilarang? Kata dia. Gw cuma bisa jawab. "Emang gw maknya ngelarang-larang. Ya kan gw dah kasi tau, konsekwensi dia dalam agama."
Soal dia memilih yang mana, itu tanggung jawab dia sebagai manusia dewasa. Sebagai pribadi, mereka berjibaku dengan sebuah tekanan untuk memilih jalan yang mana. Bertahan dengan keinginan masyarakat atau memilih jalan yang ditabukan.
Jauh selepas kuliah, gw mendengar kawan itu dekat sama bule dengan segala cerita miring. Tapi, itu pilihan hidupnya.
Gw sebagai manusia yang kurang piknik dan mainnya kurang jauh, ga berani menghakimi manusia lain karena gw bukan Tuhan. Lagian, mereka juga manusia. Masa lo semua analogikan sama hewan! Ya anjinglah, monyetlah.
Gimana coba, kalau ada orang tua, yang anaknya emang kekirian seperti itu. Baca hinaan kalian yang menyebut mereka sebagai binatang.
Bro and sis, kita tidak pernah tahu ke depan itu terjadi seperti apa. Gimana kalau orang tua itu nantinya adalah Anda....#menyesal itu ga ada yang duluan om dan tante!
Ya, kalau memperingati dengan kasih sayang bukan makian, cercaan atau hinaan. Kalau perlu ajak ngaji, biar mereka tahu dalil-dalil agama yang kalian share di medsos. Ajak ke gereja biar tahu ajaran Al Kitab.
Agama itu kasih sayang lho, bukan menebar kebencian. Itu kata sapa gw lupa! Pastinya bukan kata gw, saya mah apa atuh. Masih kurang piknik dan kurang jauh mainnya.
Angin malam...#kentut
Dalam beberapa hari ini, timeline gw isinya singkatan itu. Dari mulai singkatan asli, sampai plesetan ala alay, lebay sampai singkatan ngarep.
Ada yang mendukung, ada yang protes keras. Ada yang bertameng agama, ada yang berstandar pada kemanusiaan. Gara-gara pemilik kedai kopi dukung LGBT, minuman di dalam perut jadi haram. Gara-gara komputer yang bikin LGBT, yang gunain dianggap munafik.
Bingungkan? Nulis status mengarah kemanusiaan dibilang dukung LGBT. Taruh status dalil-dalil agama, dibilang ilmunya dah ketinggian. Indonesia banget lah.
Kalau menyinggung satu ini, jadi ingat teman waktu kuliah. Dia traktir gw saat ingin curhat. Curhatnya ya soal LGBT ini. Dia sedang memilih untuk jadi pria sejati atau mengikuti sisi lain dirinya, alias gay. Makanan yang gw makan haram dong? OMG..."Tuhan maafkan aku sebagai teman saya tak bisa menolak traktiran itu."...#Doa kok disosmed (mau kliatan beragama?)
Dia cerita, dia anak laki satu-satunya di keluarga kaya di sebuah perumahan mewah di Depok. Ibunya dan kakak-kakak perempuannya sangat sayang sama dia. Ini jauh berbeda dengan sifat dan sikap ayahnya. Galak dan emosional.
Entahlah, apa hubungannya antara ayah galak sampai akhirnya dia berubah jadi gemulai. Pastinya dia lebih feminim karena pengaruh ibu dan kakak-kakaknya.
Mungkin, kalau yang pernah satu kampus, mengenal sosok ini. Dia pria bertubuh langsing dan putih, rambut keriting dan selalu menggunakan tas totte. Dari jalan dan caranya berbicara, semua orang akan tahu, dia sangat feminim sebagai laki-laki.
Dia pernah mengungkapkan kegelisahannya. "Tya, gimana neh, gw harus bersikap?" tanya dia saat meminta masukan.
Ditanya seperti ini gw bingung. Ilmu agama gw cetek, ga ada apa-apanya dibandingkan para ulama sosmed, tapi ya tahulah soal larangan-larangan kodrat sebagai manusia. Sebagai manusia, masa juga mengekang orang. Jadi, ya gw cuma bilang gini.
"Ven, dalam agama hal ini dilarang, lo sudah tahu konsekwensinya. Tapi, menyoal kemanusiaan, gw juga ga bisa melarang lo. Itu hak hidup lo."
Gw diomelin saat cerita ke teman lain karena ngomong seperti ini. Kenapa gak dilarang? Kata dia. Gw cuma bisa jawab. "Emang gw maknya ngelarang-larang. Ya kan gw dah kasi tau, konsekwensi dia dalam agama."
Soal dia memilih yang mana, itu tanggung jawab dia sebagai manusia dewasa. Sebagai pribadi, mereka berjibaku dengan sebuah tekanan untuk memilih jalan yang mana. Bertahan dengan keinginan masyarakat atau memilih jalan yang ditabukan.
Jauh selepas kuliah, gw mendengar kawan itu dekat sama bule dengan segala cerita miring. Tapi, itu pilihan hidupnya.
Gw sebagai manusia yang kurang piknik dan mainnya kurang jauh, ga berani menghakimi manusia lain karena gw bukan Tuhan. Lagian, mereka juga manusia. Masa lo semua analogikan sama hewan! Ya anjinglah, monyetlah.
Gimana coba, kalau ada orang tua, yang anaknya emang kekirian seperti itu. Baca hinaan kalian yang menyebut mereka sebagai binatang.
Bro and sis, kita tidak pernah tahu ke depan itu terjadi seperti apa. Gimana kalau orang tua itu nantinya adalah Anda....#menyesal itu ga ada yang duluan om dan tante!
Ya, kalau memperingati dengan kasih sayang bukan makian, cercaan atau hinaan. Kalau perlu ajak ngaji, biar mereka tahu dalil-dalil agama yang kalian share di medsos. Ajak ke gereja biar tahu ajaran Al Kitab.
Agama itu kasih sayang lho, bukan menebar kebencian. Itu kata sapa gw lupa! Pastinya bukan kata gw, saya mah apa atuh. Masih kurang piknik dan kurang jauh mainnya.
Angin malam...#kentut
Komentar
Posting Komentar