Pria tua beruban putih dan mobilnya yang juga veteran berhenti di depan rumah. Wajahnya terlihat sayu. Berjalan pelan dengan punggung membungkuk.
Kami terkejut. Bukan kali pertama dia menjejakkan kaki di rumah kami yang sangat sederhana.
Ada rasa kecewa saat memandangnya. Kepongahan yang dia ucapkan dan kekuasaan seolah pemilik segalanya buat kami berpaling darinya.
Awalnya ketegasan dan kedisiplinannya coba kami pelajari. Dia si tua yang sukses menjalani bisnisnya. Kami ingin belajar darinya.
Caranya buat kami tertekan. Dia ingin memonopoli kami.
Tapi, kami bukan milik siapa-siapa. Kami orang merdeka yang bisa menentukan jalan bersama orang lain. Belajar dari setiap individu tanpa harus memandang kasta, tahta bahkan harta.
Cerita kesuksesannya yang bernada sombong dengan caranya pamer harta saat kami sudah tahu apa yang dia miliki, buat rasa kagum kami memudar. "Saya punya Pajero, saya punya Alphard, saya punya ini dan itu," itu katanya satu waktu.
Kalimat demi kalimat dia lontarkan saat meluapkan emosi kami bekerjasama dengan orang lain untuk usaha ini. Kenapa tidak boleh kami bekerjasama? Tidak ada hitam di atas putih kami terikat dengan si kakek dan tak ada etika yang dilanggar?
Kami tak pernah berhutang dengan siapapun dari mereka yang bekerjasama dengan kami, termasuk si kakek? Jadi kenapa Anda begitu emosi ketika mendengar 'aduan' tak berdasar dari orang lain.
Lalu kami menentukan, bukan caranya berdagang yang menjadi patokan kami memutuskan tapi setitik kesombongannya buat kami menentukan. Kami memutuskan jalinan kerjasama.
Hari ini, si tua itu datang. Kita tetap menyambutnya dengan senyuman. Dia bilang akan menjalin kembali kebersamaan yang telah berminggu-minggu hilang.
Sekali lagi kami terkejut. Apakah si tua yang sombong ini sudah menjadi sosok rendah hati? Kami tak tahu.
Cerita Bapa siang tadi yang ditulis anaknya...
Kami terkejut. Bukan kali pertama dia menjejakkan kaki di rumah kami yang sangat sederhana.
Ada rasa kecewa saat memandangnya. Kepongahan yang dia ucapkan dan kekuasaan seolah pemilik segalanya buat kami berpaling darinya.
Awalnya ketegasan dan kedisiplinannya coba kami pelajari. Dia si tua yang sukses menjalani bisnisnya. Kami ingin belajar darinya.
Caranya buat kami tertekan. Dia ingin memonopoli kami.
Tapi, kami bukan milik siapa-siapa. Kami orang merdeka yang bisa menentukan jalan bersama orang lain. Belajar dari setiap individu tanpa harus memandang kasta, tahta bahkan harta.
Cerita kesuksesannya yang bernada sombong dengan caranya pamer harta saat kami sudah tahu apa yang dia miliki, buat rasa kagum kami memudar. "Saya punya Pajero, saya punya Alphard, saya punya ini dan itu," itu katanya satu waktu.
Kalimat demi kalimat dia lontarkan saat meluapkan emosi kami bekerjasama dengan orang lain untuk usaha ini. Kenapa tidak boleh kami bekerjasama? Tidak ada hitam di atas putih kami terikat dengan si kakek dan tak ada etika yang dilanggar?
Kami tak pernah berhutang dengan siapapun dari mereka yang bekerjasama dengan kami, termasuk si kakek? Jadi kenapa Anda begitu emosi ketika mendengar 'aduan' tak berdasar dari orang lain.
Lalu kami menentukan, bukan caranya berdagang yang menjadi patokan kami memutuskan tapi setitik kesombongannya buat kami menentukan. Kami memutuskan jalinan kerjasama.
Hari ini, si tua itu datang. Kita tetap menyambutnya dengan senyuman. Dia bilang akan menjalin kembali kebersamaan yang telah berminggu-minggu hilang.
Sekali lagi kami terkejut. Apakah si tua yang sombong ini sudah menjadi sosok rendah hati? Kami tak tahu.
Cerita Bapa siang tadi yang ditulis anaknya...
Komentar
Posting Komentar