Tak pernah terlintas dalam benakku mencapai titik ini. Di mata orang lain mungkin ini bukan sebuah kesuksesan, tapi di tengah perjuanganku menggapainya ini seperti puncak Penanjakan saat menyaksikan Gunung Bromo dan Semeru di pagi hari.
Tak bisa diungkap dengan kata-kata. Ketika semilir angin menerpa hingga menusuk tulang dengan dinginnya. Saat matahari menyembul dari balik awan yang berada di bawah kaki kita, alam memanjakan mata. Begitu besar alam dan anugerah yang Tuhan berikan. Seperti itu aku bisa mengungkapkan langkahku di titik ini.
Terpinggirkan, itu kata paling halus untuk mengatakan jika aku tak pernah diinginkan jika mengingat masa lalu. Lalu dua penyelamatku hadir hingga membesarkanku saat ini. Bukan tak mudah menghadapi ini, ketika saat kecil kau sudah mengerti tentang siapa dirimu.
Keputusasaan nyaris menghampiri bahkan ketika aku baru beranjak remaja. Cerita dari mulut ke mulut dan mata yang menyaksikan seperti tamparan ketika usiaku masih belasan. Mencoba membenamkan diri dari kenyataan dengan pendidikan tanpa peduli siapapun yang bicara.
Sentuhan dua 'dewa' bernama mak dan bapak membuatku tegar. Mereka mencoba menutup kupingku dari segala arah pembicaraan yang membuatku bingung terhadap hidupku. "Aku ibumu dan aku ayahmu", itu kata mak dan bapak. Tuhan begitu adil memberiku dua cinta paling sempurna dalam hidup. Ya, mak dan bapak.
Ketika usia mencapai remaja, aku butuh jawaban atas semua pertanyaan. Tapi, yang ada aku harus terima kenyataan pahit. Tak banyak yang bisa kutemukan tentang jejak awal kisah hidupku.
Mencoba mengais cerita dari kisah lama itu dan berharap mendapat kasih sayang yang tertinggal. Namun, jalan bagiku tak mudah. Kadang tak bisa mengharapkan tinggi sesuatu jika akhirnya membuatmu terluka.
Selepas sekolah, keinginan itu benar-benar musnah. Aku harus berjalan tertatih untuk menggapai mimpiku. Darah yang kental tak berarti apapun tanpa kasih sayang. Itu yang aku rasakan.
Kejadian-kejadian beruntun itu membuatku bermimpi seperti Violet Kahlil Gibran, yang mampu menyentuh matahari di antara para raksasa. Meski harus melewati semak belukar yang penuh duri dan bahkan cacian yang sudah menjadi makanan sehari-hari.
Tak ada gengsi, tak ada rasa malu. Semua coba kugeluti. Setiap jejak itu mengajarkanku untuk berjuang keras menghadapi hidup dengan tiga hal yang saat ini terus kupegang, niat, tekad dan nekat dan dilakukan dengan jujur, ikhlas dan berani. Sepenuh hati itu yang aku lakukan setiap kali menemukan pekerjaan.
Seorang kawan pernah bertutur, dia hanya mengenyam lulusan SD. Hidupnya sangat keras dengan segala yang pernah dia jalani. Satu saat, aku pernah duduk di tangga bersamanya sambil bercerita segala hal. Namanya Ningsih.
Asap rokok mengepul dari mulutnya, pun begitu pula dari mulutku. Perjalanan hidupnya juga berat tapi pendidikan membuat dia sulit untuk bergerak dengan usia makin merambat tua. Sedangkan usiaku saat itu belum genap di angka 20.
Dalam obrolan panjang kisah hidupnya yang nyaris tercebur ke dunia malam, dia banyak mengisyaratkan pesan. Nasehat dari seorang kawan yang mungkin bagi sebagian orang akan dicemoohkan karena keluar dari orang yang sering jadi sasaran hinaan. Orang yang kadang dipandang sebelah mata dari setiap sudut.
Tapi, segala pesannya hingga kini tertanam dalam benakku. Dia bertutur, "Gw percaya sama lo. Lo kuat untuk menghadapi semua. Gw percaya satu saat nanti bertemu lo dan bisa menjadi sukses. Bukan seperti sekarang duduk sama gw di sini. Saat lo sudah sukses nanti, dan ketemu di pinggir jalan, gw akan tersenyum pernah punya teman sehehebat lo."
Aku hanya bisa tertawa lepas saat dia berujar seperti itu. Mimpi dia terhadap hidupku terlalu tinggi yang bahkan aku pun tak berani memikirkannya. Waktu berlalu dan saatnya kami kembali bekerja dan melupakan pembicaraan masa lalu, impian masa depan sebagai sekadar perbincangan.
Lebih dari 10 tahun perbincangan itu, aku memang belum mencapai sukses seperti gambaran dia. Tapi, tahukah kawanku Ningsih! Teman berbagimu di tangga darurat ini sudah merasakan semua pengalaman seperti orang sukses rasakan. Seperti Violet Kahlil Gibran, yang dapat menyentuh sinar matahari paling tinggi meski hanya dalam sekejap waktu.
Seperti juga Ningsih, tapi kelima kakak lelakiku yang membentukku menjadi perempuan tangguh. Bagiku mereka yang membuatku makin kuat menghadapi kehidupan. Lima sahabat yang bagiku seperti abangku, Mas Ro, Untung, Roni, Lutfti dan Tisna.
Usiaku paling kecil di antara mereka. Mereka menjagaku seperti adiknya. Mereka semua panggil aku si bontot alias bungsu. Apalagi dengan tubuh kecilku, mereka bagai raksasa pelindung karena tubuhnya yang tinggi.
Persahabatan kami adalah persaudaraan. Mereka membantuku untuk kuliah. Kadang di antara mereka meminjamkan duit bahkan memberiku uang untuk tetap bisa kuliah. Disaat aku mengajar untuk anak-anak jalan di Kebayoran atau bercerita pada anak-anak di kolong jembatan Pluit, mereka membantuku.
Masih ingat betul perjalanan kami ke Cianjur, 14 tahun lalu. Dengan uang seadanya kami menjenguk Lutfi di kampung halamannya. Bermodal nekat, kami pulang tanpa uang sepeserpun. Kami semua duduk termangu tak jauh dari pintu tol Cikampek. Usaha menjual telepon seluler bermerek Siemen untuk ongkos pulang tak berhasil.
Dalam situasi putus asa, kami mendapat berkah. Sebuah bus pabrik yang sedikit kusam akan menuju Tangerang. Kami memberanikan diri menumpang sampai Komdak dan berhasil sampai Jakarta. Sesampainya di sana kami naik Kopaja, aku tak tahu bagaimana mereka membayar ongkosnya tapi kami sampai di Pancoran.
Persahabatan itu mengentalkan persaudaraan. Kendati kerap ada percikan emosi dan kemarahan, tapi layaknya saudara, kami tetap saling menjaga.
Mereka mengajarkan bagaimana menantang alam yang keras dan menahan benturan saat terjatuh. Roni alias Black, dia tangguh dalam segala pemikirannya. Dia pernah bilang, "Ga boleh ada yang ganggu adik gw." Itu celotehnya di masa lalu.
Kisah cintanya penuh drama saat bersama Heni. Keduanya adalah sahabatku. Tapi, kegagahan Black luruh karena percintaan segitiganya. Kini, dia sukses menjadi salah satu bos perusahaan keamanan di Jakarta.
Untung. Dia selalu menjagaku dengan baik. Meski ada cerita penuh drama awalnya, dia paling bijak dan dewasa menghadapi segala keadaan.
Lutfi. Dia don juan versi dia sendiri. Tapi, dia sangat baik dan selalu memberi nasehat yang kadang mengejutkan keluar dari mulutnya. Doanya tak pernah habis untukku bahkan hingga saat ini.
Mas Ro. Paling tua dan paling banyak bicara. Dari dia aku banyak belajar tentang hidup. Sementara Tisna kebalikannya, pendiam bahkan terlalu diam.
Mereka berlima yang mendorongku menggebrak Kopsucofindo pada awal 2003. Pelanggaran yang mereka lakukan menggelitikku untuk mengubah keadaan. Ketika karyawan lulusan SD, SMP dan SMA dikontrak hingga puluhan tahun. Koperasi sebuah BUMN yang tutup mata terhadap peraturan di negeri ini.
Kami berenam menuliskan segala petisi sesuai kerja. Dengan segala cara kami menyusun petisi yang nantinya bisa benar-benar ampuh mengubah keadaan.
Saat semua beres, petisi kami sebarkan ke semua karyawan yang haknya selama ini terabaikan. Selentingan menyebar, aku dituding menjadi biang keladi. Aku akui ya, tapi kelima abangku berdiri paling depan untuk melindungiku.
Tiga bulan berjalan, kami berhasil memberi secercah harapan bagi rekan-rekan kami. Meski dari kejadian ini lahir para oportunis yang seolah menjadi pahlawan. Biarlah itu, kami berenam tak butuh tanda jasa karena itu bukan tipikal kami menerima sanjungan dan pujian.
Setahun pasca kejadian, aku lulus sarjana. Mereka berlima menjadi pendampingku bersama keluargaku menjalani wisuda. Mereka menginap di rumahku agar pagi-pagi bisa mengantarku mengenakan kebaya di kampusku IISIP Jakarta.
Hampir tujuh tahun selepas SMA dan bekerja, akhirnya aku menjadi sarjana. Banyak yang terkejut dengan statusku. Tiga orang yang mencemoohku masih kuingat betul meminta maaf atas kejadian di masa lalu.
Aku lupa nama orang itu. Tapi, tubuhnya tak lebih tinggi dari aku. Masih ingat betul ketika dia mencaciku karena menghilangkan majalah bekas yang aku pinjam. Dia mencaci maki aku, bahkan meludah karena kebenciannya.
Terasa sakit saat itu, tapi aku hanya tersenyum. Kadang manusia memandang pekerjaan orang lain lebih rendah karena status sosial. Sebuah perhitungan yang aneh ketika Tuhan saja tidak membedakan ciptaannya.
Tapi, gelar sarjana itu membuka pintu maaf di hatinya. Dia merasa malu merendahkan orang lain, dan meminta maaf kepadaku. "Saya dari dulu tahu kamu memang cerdas." Sepenggal kalimat yang sedikit membuatku bangga jika aku telah membuat orang sadar untuk tidak melulu melihat manusia dari kasta sebuah pekerjaan.
Satu lainnya mba Wina. Dulu dia seorang manajer di Sucofindo dan jabatannya kini sudah lebih tinggi. Dia pernah buat aku menangis karena caci makinya yang salah alamat tanpa memberi ruang memberi penjelasan. Dalam pandanganku, dia begitu memandang rendah orang lain karena dia merasa sudah berada di puncak teratas kesuksesan yang menurutku absurd karena hanya sebuah ilusi dari pandangan orang lain.
Lebih dari 10 tahun berlalu, dia kembali mengenalku. Bukan sebagai karyawan rendahan di perusahaan, itu kata orang. Tapi, sebagai profesional dari pekerjaanku. Aku mengingatkan dia ketika dia membuatku menangis. Kata maaf meluncur darinya dan kini kami berteman baik dan dua kali bekerjasama untuk membantu pekerjaan sosialnya.
Usai menjadi sarjana, akhirnya aku meninggalkan Kopsucofindo. Meninggalkan teman-teman kerja dan lima saudaraku. Mencoba peruntungan dan menemukan idealisme dari dunia jurnalis. Demi satu tujuan....menulis!
Bersambung.....
Cerita dari Tya Marenka
Asap rokok mengepul dari mulutnya, pun begitu pula dari mulutku. Perjalanan hidupnya juga berat tapi pendidikan membuat dia sulit untuk bergerak dengan usia makin merambat tua. Sedangkan usiaku saat itu belum genap di angka 20.
Dalam obrolan panjang kisah hidupnya yang nyaris tercebur ke dunia malam, dia banyak mengisyaratkan pesan. Nasehat dari seorang kawan yang mungkin bagi sebagian orang akan dicemoohkan karena keluar dari orang yang sering jadi sasaran hinaan. Orang yang kadang dipandang sebelah mata dari setiap sudut.
Tapi, segala pesannya hingga kini tertanam dalam benakku. Dia bertutur, "Gw percaya sama lo. Lo kuat untuk menghadapi semua. Gw percaya satu saat nanti bertemu lo dan bisa menjadi sukses. Bukan seperti sekarang duduk sama gw di sini. Saat lo sudah sukses nanti, dan ketemu di pinggir jalan, gw akan tersenyum pernah punya teman sehehebat lo."
Aku hanya bisa tertawa lepas saat dia berujar seperti itu. Mimpi dia terhadap hidupku terlalu tinggi yang bahkan aku pun tak berani memikirkannya. Waktu berlalu dan saatnya kami kembali bekerja dan melupakan pembicaraan masa lalu, impian masa depan sebagai sekadar perbincangan.
Lebih dari 10 tahun perbincangan itu, aku memang belum mencapai sukses seperti gambaran dia. Tapi, tahukah kawanku Ningsih! Teman berbagimu di tangga darurat ini sudah merasakan semua pengalaman seperti orang sukses rasakan. Seperti Violet Kahlil Gibran, yang dapat menyentuh sinar matahari paling tinggi meski hanya dalam sekejap waktu.
Seperti juga Ningsih, tapi kelima kakak lelakiku yang membentukku menjadi perempuan tangguh. Bagiku mereka yang membuatku makin kuat menghadapi kehidupan. Lima sahabat yang bagiku seperti abangku, Mas Ro, Untung, Roni, Lutfti dan Tisna.
Usiaku paling kecil di antara mereka. Mereka menjagaku seperti adiknya. Mereka semua panggil aku si bontot alias bungsu. Apalagi dengan tubuh kecilku, mereka bagai raksasa pelindung karena tubuhnya yang tinggi.
Persahabatan kami adalah persaudaraan. Mereka membantuku untuk kuliah. Kadang di antara mereka meminjamkan duit bahkan memberiku uang untuk tetap bisa kuliah. Disaat aku mengajar untuk anak-anak jalan di Kebayoran atau bercerita pada anak-anak di kolong jembatan Pluit, mereka membantuku.
Masih ingat betul perjalanan kami ke Cianjur, 14 tahun lalu. Dengan uang seadanya kami menjenguk Lutfi di kampung halamannya. Bermodal nekat, kami pulang tanpa uang sepeserpun. Kami semua duduk termangu tak jauh dari pintu tol Cikampek. Usaha menjual telepon seluler bermerek Siemen untuk ongkos pulang tak berhasil.
Dalam situasi putus asa, kami mendapat berkah. Sebuah bus pabrik yang sedikit kusam akan menuju Tangerang. Kami memberanikan diri menumpang sampai Komdak dan berhasil sampai Jakarta. Sesampainya di sana kami naik Kopaja, aku tak tahu bagaimana mereka membayar ongkosnya tapi kami sampai di Pancoran.
Persahabatan itu mengentalkan persaudaraan. Kendati kerap ada percikan emosi dan kemarahan, tapi layaknya saudara, kami tetap saling menjaga.
Mereka mengajarkan bagaimana menantang alam yang keras dan menahan benturan saat terjatuh. Roni alias Black, dia tangguh dalam segala pemikirannya. Dia pernah bilang, "Ga boleh ada yang ganggu adik gw." Itu celotehnya di masa lalu.
Kisah cintanya penuh drama saat bersama Heni. Keduanya adalah sahabatku. Tapi, kegagahan Black luruh karena percintaan segitiganya. Kini, dia sukses menjadi salah satu bos perusahaan keamanan di Jakarta.
Untung. Dia selalu menjagaku dengan baik. Meski ada cerita penuh drama awalnya, dia paling bijak dan dewasa menghadapi segala keadaan.
Lutfi. Dia don juan versi dia sendiri. Tapi, dia sangat baik dan selalu memberi nasehat yang kadang mengejutkan keluar dari mulutnya. Doanya tak pernah habis untukku bahkan hingga saat ini.
Mas Ro. Paling tua dan paling banyak bicara. Dari dia aku banyak belajar tentang hidup. Sementara Tisna kebalikannya, pendiam bahkan terlalu diam.
Mereka berlima yang mendorongku menggebrak Kopsucofindo pada awal 2003. Pelanggaran yang mereka lakukan menggelitikku untuk mengubah keadaan. Ketika karyawan lulusan SD, SMP dan SMA dikontrak hingga puluhan tahun. Koperasi sebuah BUMN yang tutup mata terhadap peraturan di negeri ini.
Kami berenam menuliskan segala petisi sesuai kerja. Dengan segala cara kami menyusun petisi yang nantinya bisa benar-benar ampuh mengubah keadaan.
Saat semua beres, petisi kami sebarkan ke semua karyawan yang haknya selama ini terabaikan. Selentingan menyebar, aku dituding menjadi biang keladi. Aku akui ya, tapi kelima abangku berdiri paling depan untuk melindungiku.
Tiga bulan berjalan, kami berhasil memberi secercah harapan bagi rekan-rekan kami. Meski dari kejadian ini lahir para oportunis yang seolah menjadi pahlawan. Biarlah itu, kami berenam tak butuh tanda jasa karena itu bukan tipikal kami menerima sanjungan dan pujian.
Setahun pasca kejadian, aku lulus sarjana. Mereka berlima menjadi pendampingku bersama keluargaku menjalani wisuda. Mereka menginap di rumahku agar pagi-pagi bisa mengantarku mengenakan kebaya di kampusku IISIP Jakarta.
Hampir tujuh tahun selepas SMA dan bekerja, akhirnya aku menjadi sarjana. Banyak yang terkejut dengan statusku. Tiga orang yang mencemoohku masih kuingat betul meminta maaf atas kejadian di masa lalu.
Aku lupa nama orang itu. Tapi, tubuhnya tak lebih tinggi dari aku. Masih ingat betul ketika dia mencaciku karena menghilangkan majalah bekas yang aku pinjam. Dia mencaci maki aku, bahkan meludah karena kebenciannya.
Terasa sakit saat itu, tapi aku hanya tersenyum. Kadang manusia memandang pekerjaan orang lain lebih rendah karena status sosial. Sebuah perhitungan yang aneh ketika Tuhan saja tidak membedakan ciptaannya.
Tapi, gelar sarjana itu membuka pintu maaf di hatinya. Dia merasa malu merendahkan orang lain, dan meminta maaf kepadaku. "Saya dari dulu tahu kamu memang cerdas." Sepenggal kalimat yang sedikit membuatku bangga jika aku telah membuat orang sadar untuk tidak melulu melihat manusia dari kasta sebuah pekerjaan.
Satu lainnya mba Wina. Dulu dia seorang manajer di Sucofindo dan jabatannya kini sudah lebih tinggi. Dia pernah buat aku menangis karena caci makinya yang salah alamat tanpa memberi ruang memberi penjelasan. Dalam pandanganku, dia begitu memandang rendah orang lain karena dia merasa sudah berada di puncak teratas kesuksesan yang menurutku absurd karena hanya sebuah ilusi dari pandangan orang lain.
Lebih dari 10 tahun berlalu, dia kembali mengenalku. Bukan sebagai karyawan rendahan di perusahaan, itu kata orang. Tapi, sebagai profesional dari pekerjaanku. Aku mengingatkan dia ketika dia membuatku menangis. Kata maaf meluncur darinya dan kini kami berteman baik dan dua kali bekerjasama untuk membantu pekerjaan sosialnya.
Usai menjadi sarjana, akhirnya aku meninggalkan Kopsucofindo. Meninggalkan teman-teman kerja dan lima saudaraku. Mencoba peruntungan dan menemukan idealisme dari dunia jurnalis. Demi satu tujuan....menulis!
Bersambung.....
Cerita dari Tya Marenka
Komentar
Posting Komentar