Langsung ke konten utama

Menemukan Belahan Jiwa

Membahas soal ini nantinya akan ketahuan jika aku masih jomblo. Tapi, iyalah di usia kepala tiga, aku masih sendiri dan Tuhan belum memberi tanggung jawab lebih dari sekadar individu. 

Bukan berarti kesendirianku ini bisa disalah artikan. Dibilang tomboy, ya, memang aku terlalu dekat sama bapak. Dia mengenalkanku banyak hal yang tidak banyak dikenalkan anak perempuan. Mulai dari pekerjaan di empang sampai nonton bola. Kebiasaan yang menjadi hobi bahkan kini menjadi profesi. Waktu kecil bahkan aku jarang membantu mak. 

Meski aku sedikit pendiam jika belum terlalu kenal sama siapa pun, tapi aku pernah mengenal dekat laki-laki yang akhirnya berlabel pacar. Dari yang baik hati yang memegang teguh keimanan sampai yang paling 'bajingan'. 

Lucu jika mengingatnya. Aku dulu berpikir, pria yang baik hati dan teguh agamanya tak mungkin bisa menjadi pendamping hidupku. Terlalu lurus seperti jalan tol rasanya sulit bagiku. Apalagi terlalu menurut padaku. Itu yang terlintas dalam benakku. 

Masih ingat betul ketika Januari 2003, pria baik hati yang hanya berani memegang tanganku itu berniat meminangku pada Maret. Dia sudah mengenalkanku tak hanya pada orang tuanya tapi keluarga jauh saat kita traveling berdua. Aku panik dengan alasan yang ada dibenakku. Bagaimana bisa sejalan dalam rumah tangga yang akan dibangun puluhan tahun, jika pacaran pun komunikasi tak matang. Aku memilih mundur sebelum waktunya tiba. 

Berjalan seiring waktu aku menemukan seolah apa yang aku cari. Pria urakan tapi begitu bertanggung jawab. Sosoknya yang keras ternyata menyimpan kelembutan sebagai pria sejati ketika dia bertanggung jawab penuh pada keluarga besarnya. Sayang sikap urakannya membuat bapak emosi dan itu menjadi awal kami jalan sendiri. 

Beberapa waktu lalu, aku pernah bertemu dengannya di Bandara Soekarno Hatta. Sosok gagahnya tak berbekas dengan perut buncit dan badannya yang gendut. Tapi dia selalu membuatku tersenyum simpul.

Seorang sahabat di masa kuliah pernah memintaku menjadi istrinya dan tinggal di sebrang sana bersamanya setelah dia mencurahkan dan mengungkapkan semua yang dia tahan selama kita berteman di kampus dulu. Dia bilang akan datang ke Jakarta pada Januari, 2011 lalu untuk memintaku kepada orang tua. Keyakinannya baru muncul setelah dia menjadi pegawai negeri sipil di sebuah kabupaten nun jauh di sana.

Di saat bersamaan, aku menemukan sosok pria dalam sahabatku yang lain. Pilihanku akhirnya bertahan di Jakarta demi pria ini dan demi keluarga. Dua alasan yang sulit aku lepaskan jika aku ingin jalan beriringan pada sosok baik hati yang dulu kerap membantuku di kampus. 

Setelah kisah ini, aku belum lagi menemukan pria yang bisa membuatku tersenyum meski kita berpisah jalan. Dua sosok inilah yang patut aku ingat dalam perjalanan hidupku. Untuk yang mengecewakan dan membuat terluka tidak patut untuk diingat atau dikenang, terlebih karena sebuah pengkhianatan dan perselingkuhan. 

Kembali ke soal belahan jiwa. Jika ditanya kapan? Semua terserah Tuhan yang menuliskan takdirku. 

Tapi, mengingat belahan jiwa. Tak melulu kehadiran pasangan datang saat kau sendirian. Seorang teman, bertemu dengan cintanya di saat dia sedang tak sendiri. Namun, waktu akhirnya mempertemukan mereka berdua dan menjadi sebuah keluarga meski jalan yang dilewati tidak mudah. Salam buat mba dan mas yang ada di negeri sebrang. 

Abangku ceritanya lebih berliku. Berulangkali berpisah dengan istrinya tapi akhirnya kembali lagi dan sekarang bersatu tanpa ada lagi badai seperti dulu. 

Mak, beberapa hari lalu berpesan, agar aku mencari pasangan hidup agar aku tak sendirian nantinya. Perkataannya adalah doa. Smoga saja aku menemukan belahan jiwa yang bisa satu langkah sampai tua, seperti mak dan bapak. 



Goretan iseng usai diceramahi mak...


Tya Marenka











Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bumi Itu Bentuknya Jajaran Genjang! (Sebuah cerita segar)

"Bumi itu datar!" katanya dengan mantap. Kami semua terdiam. Saling menatap mendengar pernyataannya. Sedangkan gw membenamkan wajah di balik  layar komputer. Menahan ketawa agar tidak pecah. Gw terkejut. Itu pasti. Ternyata ada beberapa orang yang gw kenal meyakini betul bumi itu datar. "Ada penjelasannya ga bumi itu datar? Karena selama ini gw taunya bumi itu bulat," cetus seorang kawan dengan wajah yang coba diperlihatkan serius. "Ini semua dasarnya karena keyakinan gw. Dari pelajaran yang gw peroleh ya seperti itu," tegas dia. Kami masih terpaku dengan jawabannya. Bukan terpukau tapi merasa aneh dan mulai tergelitik untuk menanyakan lebih jauh dasar keyakinannya itu. "Ada ceritanya dari balik keyakinan lo itu," tanya seorang kawan lagi. "Jadi gini, dulu ada seorang yang berjalan sampai ujung bumi. Mentok di kutub dan ga bisa lagi. Itu ujung bumi," terang dia. "Ujung bumi itu di kutub?," cetus gw. "Iya dari situ orang...

Kilau Pesona Negeri “Seribu Pagoda”

Di sisi bangunan teratas, terdapat lukisan dan relief-relief yang menggambarkan perjalanan hidup Buddha.  Bagi Anda yang ingin berwisata religi, tidak salah jika memilih Myanmar sebagai tujuan. Di sana, banyak dijumpai pagoda nan megah dan berkilau yang mengundang decak kagum. Negeri “Seribu Pagoda”, begitu sebutan populer Myanmar yang biasa disematkan masyarakat Indonesia. Sebutan itu memang relevan jika melihat banyaknya pagoda yang tersebar di seluruh penjuru negara yang dulu bernama Burma itu. Dengan populasi pemeluk agama Buddha yang mencapai 80 persen dari total penduduknya yang mencapai 61 juta orang, rasanya bukan hal mengherankan jika di Myanmar banyak dijumpai pagoda megah nan indah, tempat beribadah umat Buddha. Sejarah panjang mengiringi pendirian pagoda-pagoda tersebut. Tak heran, jika usia pagoda-pagoda di Myanmar bukan saja ratusan tahun, melainkan hingga mencapai ribuan tahun. Salah satu kota yang memiliki banyak pagoda adalah Yangon. Di sana terdapat sat...

Ini Kisah Maria Londa, dalam Wawancara Desember 2013

Maria Londa Tidak Suka Berlari Tak berhenti berharap dan berdoa menjadi modal Maria Natalia Londa memperbaiki prestasi di pentas SEA Games. Maria Natalia Londa tak pernah berpikir menekuni dunia atletik, terutama lompat jangkit dan lompat jauh. Maria kecil hanya suka menyaksikan I Ketut Pageh berlatih bersama anak asuhnya di sebuah lapangan di Denpasar, Bali. Sering bertemu itu, I Ketut Pageh mulai membujuk rayu Maria untuk menekuni dunia atletik. Sekali lagi, ketertarikan itu belum terlintas dipikiran Maria. Namun, pelatih yang sudah malang melintang di dunia atletik itu tidak menyerah. Rayuan kembali dia layangkan untuk Maria. Dan, Maria pun luluh. Aksi coba-coba dilakukan Maria. Anehnya, terjun di dunia atletik, Maria tidak suka berlari, karenanya dia tidak berminat menjadi atlet nomor lari. Dia pun mulai melirik nomor lompat. “Satu hal yang membuat saya lebih memilih nomor lompatan, karena saya tidak suka berlari,” kata Maria membuka rahasia kecilnya saat berbincang deng...