Tya Marenka, anak mak Aya dan bapa Aming. Love u mak, love u pak. |
Hari itu, aku harus menangis di depanmu mak, di depanmu pak. Tangis yang bertahun-tahun tidak pernah kalian saksikan dari anakmu ini. Maaf mak, maaf pak. Aku tak tahan lagi untuk menahan kesedihan ini.
Selama ini, aku hanya menangis saat berjalan melintas bersama motorku, saat kesedihan dan beban terlalu berat di pundakku. Perjalanan jauh dalam hitungan jam kadang membuat air mata ini sudah mengering saat sampai di rumah. Kalian pun tak pernah melihatnya.
Kamarku juga menjadi saksi bisu. Kala malam terus merambat menjelang pagi, kamar tidur menyaksikan tangis-tangisku, saat benar-benar aku merasa terhempas bahkan saat merasa tak lagi punya napas. Televisi menjadi alat bagiku untuk menangis sejadi-jadinya. Kadang harus menggigit kain agar suara terisaknya tidak merambat ke kamar mak dan bapak. Motor dan kamarku menjadi saksi, saat aku dicampakkan, ketika dihina, dicaci maki bahkan direndahkan.
Tapi, malam itu aku tidak bisa membendungnya. Hari dimana, kami sekeluarga harusnya menatap Hari Raya dengan bahagia, setidaknya sekadar mencicipi kebahagiaan dihancurkan mereka. Pemimpin tempatku mengabdi hingga hampir sewindu lamanya. Rasanya aku tak percaya, selama ini aku mencurahkan tenagaku untuk orang-orang yang nuraninya bahkan tidak ada. Aku pulang tanpa gaji.
Dari sejak aku meninggalkan kantor itu aku tak kuasa menahan air mata. Apa yang bisa aku katakan untuk mereka? Harapan kecil mereka pun tidak bisa aku penuhi.
Aku duduk terhempas saat sampai di rumah. Hanya terdiam seribu bahasa. Mak bingung dan menghampiriku, dengan nada rendah dia bertanya. Aku pun menuturkan semuanya. Akhirnya, tangis itu pun pecah. Untuk kali pertama sejak kecil dulu, inilah pertama kalinya aku menangis keras. Seperti tanggul yang pecah melepas semua air mata di dalamnya. Kenyataan pahit harus aku terima ketika tak mampu memberi mereka bahagia di hari paling suci.
Mereka ikut menangis. Maaf mak, maaf pak, aku tak bermaksud membuat kalian ikut merasakan kepedihan hati ini. Dengan tangan-tangan lembut mereka, mereka berkata. "Sabar aja. Terima kenyataan ini. Hari ini akan segera berlalu. Sudah tak perlu menangis lagi."
Bagi sebagian orang, gajiku mungkin tak seberapa. Tapi, besar artinya bagi kami. Berbulan-bulan, aku tak lagi punya tabungan bahkan harus membayar tagihan demi membangun kembali rumah kami yang hancur. Sedikit gaji itu sangat berarti bagi kami.
Tapi, seperti kata bapa, semua akan berlalu. Hari ini, aku akan mengingat hari itu ketika tangisku pecah di depan mereka saat kesulitan besar melanda, bahwa akan ada hari esok untuk bisa lebih baik dalam memilih, memilah dan mengerti tentang semua hal. Rumah mak dan bapa nyaris rampung.
Makasih mak dan bapa, yang sudah merawatku puluhan tahun, saat aku ditinggalkan sendirian oleh mereka.
Tya Marenka
Komentar
Posting Komentar