Nama Loretta Lynch mungkin tenar sebagai Jaksa yang menangkap para pejabat FIFA pada 27 Mei lalu. Tapi, nama lain ternyata menjadi kunci utama membongkar korupsi dan skandal FIFA yang sudah berurat akar di Federasi Sepakbola Dunia.
Siapa Andrew Jennings? Usianya tak beda jauh dengan Blatter yang berusia 79, hanya lebih muda delapan tahun. Sama sepuhnya.
Si Opa lahir di Skotlandia tapi besar di London, Inggris. Dunia sepakbola familiar dengannya karena kakeknya pemain dari klub Leyton Orient.
Tapi, Jennings bukan pemain sepakbola. Dia seorang jurnalis investigasi yang sudah lebih dari separuh hidupnya membongkar kasus-kasus kriminal dan mafia, mulai dari perdagangan heroin di Thailand dan hingga kartel di era 80-an di Italia.
Memasuki 90-an dia mulai menilisik International Olympic Committe alias Komite Olimpiade Internasional atas saran movie maker Hollywood, Paul Greengrass. Dari ceritanya, Jennings mulai menangkap ada jaring korupsi di badan olahraga dunia itu.
Juan Antonio Samaranch, presiden IOC saat itu dinilai terlalu diktator. Sangat berkuasa dan dinilai tenggelam dengan puja-puji wartawan yang takut kehilangan akses ke pejabat tinggi dan atlet sebagai narasumbernya.
Jennings dengan berani menulis buku berjudul "boondoggles, suap dan kontoversi obat terlarang" dalam skandal Olimpiade musim dingin 2002 Salt Lake City. Saat ajang empat tahunan itu terjadi, banyak anggota IOC diusir dan mendapat sanksi karena terbukti bersalah. Entah terkait atau tidak, Samarach mundur dari jabatannya.
Organisasi sebesar IOC banyak kasus skandal menghinggapi, bagaimana dengan FIFA? Itu yang ada dalam benaknya. Maka setelah membongkar IOC dia mulai beralih ke FIFA.
Sebuah taktik tak biasa dilakukan Jennings. Untuk pertama kali dia datang ke jumpapers di ZUrich, Swiss pada 2002. Menginjakkan kaki pertama kali di markas organisasi sepakbola dunia itu, dia bilang para pegawainya seperti robot berbalut blazer.
Apa yang dilakukan Jennings di upaya pertamanya?. Dia langsung mengambil mikrofon selepas Blatter berbicara di jumpapers itu.
"Saya dikelilingi banyak wartawan yang memakai jas sangat mewah dan dasi sutra dengan kemeja dikancing," kenang Jennings. "Dan inilah saya dengan sepatu gunung. Saya mengambil mike, dan berkata,"Herr (panggilan profesional bahasa Jerman) Blatter, Apakah anda melakukan suap?"
Pertanyaannya sontak mengejutkan, tak hanya Blatter tapi juga wartawan yang menjauh melihat pertanyaan kontroversialnya. Tapi, Jennings justru bersyukur dengan ulah para jurnalis, dia menjadi sorotan utama.
"Reporter menjauhi saya seperti saya ini makanan busuk. Itu yang saya mau, Terima kasih, reporter idiot," ucap Jennings satu waktu kepada Washington Post.
Pertanyaan Jennings dibantah Blatter. Kalimat singkat itu cukup membuat penguasa FIFA itu memberi perhatian terhadap jurnalis veteran itu. Benar saja, enam minggu kemudian dia mendapat undangan ke sebuah kantor bergaya abad 19 yang menghadapi sungai di Zurich, ya itu kantor FIFA. Pemandangan luar biasa, kenang Jennings.
Di saat menunggu, pejabat senior FIFA datang menenteng sebuah dokumen tebal nan mewah. Satu jam dia berbincang banyak tentang segala hal mengenai organisasi sepakbola dunia itu.
Dari pertemuan satu jam itu, Jennings terperangah dengan fakta mengenai Blatter dan anggota Komite Eksekutif. Si kakek tua tenryata hidupnya sangat mewah tapi ditutup sangat rapat hingga tak terendus siapa pun.
Jennings menyamakan Blatter sebagai diktator. Betapa tidak, si kakek tua menunjukkan kekuasaannya sebagai penguasa dunia lewat sepakbola.
Dia menggaji dirinya sendiri dan bonus, yang katanya mencapai enam digit. Untuk hitungan dollar, itu terbilang fantastis.
Blatter juga tak pernah mau menggunakan pesawat komersial. Dia harus menggunakan pesawat jet pribadi untuk berkeliling dunia. Itu harus. Serta sebuah Mercedes mewah yang harus selalu disediakan untuknya. Layaknya presiden di sebuah negara.
Tapi, tidak seperti presiden sebuah negara, FIFA tak memiliki jadwal dan agenda untuk Blatter. Si kakek asli Swiss itu pergi sesuai keinginan dia. Tipikal diktator sejati.
Soal gaji, Blatter memang sulit ditebak tidak seperti PSSI yang kita tahu Ketua Umumnya digaji 50 juta rupiah per bulan. Kepala Keuangan dan Administrasi FIFA, Markus Kattner dalam wawancara kepada Bloomberg dengan arogan tidak akan mengungkap fakta gaji Blatter dan sudah menyimpannya dengan rapat.
"Kami sudah menyembunyikannya dan Anda tidak bisa menemukan itu. Kami juga tidak mempublikasikan itu, pertama, karena memang kami tidak perlu melakukannya," ucap Kattner beberapa waktu lalu.
Blatter mengancam akan membawa Jennings ke meja hijau. Tapi, hingga hari ini, ancamannya tidak pernah terjadi. Walau Jennings mengaku kerap merasa was-was telepon dan komputernya disadap. Namun, Blatter melarang Jennings menginjakkan kaki di setiap jumpapers FIFA.
Penyelidikan Jennings terus berlanjut hingga lahir sebuah buku berjudul "Foul! The Secret World of FIFA: Bribes, Vote Rigging and Ticket Scandals" pada 2006. Sebuah buku yang dari judulnya terasa familiar di negeri ini, suap, istilah tali rafia tali sepatu for vote president and skandal tiket.
Tak hanya dalam bentuk ancaman. Cercaan dan cemooh kerap dialami Jennings. Ya semacam sebutan "wartawan kardus" kerap dialaminya. Secara fisik pun dia sering mengalaminya.
Itu yang terjadi saat dia bertanya hal yang sama dengan Jack Warner. Kala itu, dia bertemu mantan Wakil presiden FIFA yang kini menjadi buruan Interpol di tempat parkir. Jennings buru-buru mendekat dan bertanya,"Permisi! Apakah anda melakuakn suap di sini?." Warner dan pengawalnya terdiam kaku mendapat pertanyaan itu.
Tiba-tiba, Warner meludahi muka Jennings dan meninjunya dengan keras. Jennings hanya tersenyum. Dia tak gentar meski sendirian membongkar kedok Blatter.
Lalu bagaimana caranya penulis buku "The Beautiful Bung: Corruption and the World Cup" mendapatkan data-data dan fakta dari FIFA di seluruh dunia. Dia wartawan cerdas yang sudah sejak awal membidik informan dari kalangan kelas menengah.
Karyawan FIFA yang memiliki kemapanan ekonomi dan punya nurani ketika kebusukan organisasi sepakbola dunia itu sudah merajalela namun tak terjamah. Pelan tapi pasti banyak yang memberikan informasi untuknya untuk membongkar semua kebusukan FIFA.
Jennings dan FBI
Pada suatu malam di 2009, Jennings mendapat telepon dari mantan 'informannya'. Sang penelpon bilang ingin memperkenalkan dia dengan beberapa orang.
Dia berangkat ke London dan masuk ke sebuah kantor tak dikenal. Di dalamnya sudah ada pria beraksen Amerika Serikat. Dari potongan rambutnya, Jennings menyebut bergaya orang pemerintahan.
Benar saja, Jennings bertemu dengan agen spesialis FBI. "Mereka memberi saya kartu nama dan menyebut mereka dari skuat organisasi kriminal." Wow, FIFA sarang kriminal? Who know!
Jennings seperti mendapatkan motivasi ketika Kepolisian di ERopa diam terhadap FIFA. Dia pun ikut andil dalam segala hal mengenai penyelidikan termasuk saat memberikan laporan keuangan rahasia milik Federasi Sepakbola Amerika Utara dan Kepulauan Karibia atau Concacaf, yang di dalamnya penuh dengan laporan misterius tentang komisi. Nilainya jutaan dollar.
Enam tahun Jennings bekerja bersama FBI. Membongkar satu demi satu kasus dan mencari setiap jejak penipuan, pengaturan skor, penyuapan, pencucian uang hingga korupsi bernilai jutaan dollar.
Jennings sudah mengetahui akan ada pejabat FIFA yang akan dikekang di jeruji besi. Tapi, dia tidak tahu siapa dan kapan itu terjadi.
Sampai akhirnya Rabu, 27 Mei di pagi hari, kejadian besar terjadi di sebuah Hotel bintang lima Baur au Lac di Zurich, Swwis. Tujuh pejabat FIFA ditangkap karena diduga menerima suap jutaan dollar.
Jennings tak tahu kejadian itu. Dia masih tertidur pulas sampai akhirnya dia mendapat kabar soal penangkapan.
Dia hanya tak bisa membayangkan bagaimana para penguasa FIFA yang tinggal di hotel paling mewah di dunia dan biaya ditanggung. Tiba-tiba saat masih tertidur pulas jam enam pagi, ada ketukan dan datang seorang polisi menangkapnya.
"Mereka sampah pencuri olahraga rakyat. Mereka telah mencuri semua, pencuri bajingan," itu kata Jennings kala para pejabat itu digelandang oleh pihak berwajib.
Blatter kini sudah mundur. Jennings yang pernah membongkar kasus besar korupsi pihak kepolisian di Inggris bersiap pensiun. Walaupun keruntuhan rezim si opa tua bisa memberinya akses untuk jumpapers bersama para wartawan parlente, dia lebih memilih untuk mengurus perkebunan di sisa masa hidupnya.
Siapa Andrew Jennings? Usianya tak beda jauh dengan Blatter yang berusia 79, hanya lebih muda delapan tahun. Sama sepuhnya.
Si Opa lahir di Skotlandia tapi besar di London, Inggris. Dunia sepakbola familiar dengannya karena kakeknya pemain dari klub Leyton Orient.
Tapi, Jennings bukan pemain sepakbola. Dia seorang jurnalis investigasi yang sudah lebih dari separuh hidupnya membongkar kasus-kasus kriminal dan mafia, mulai dari perdagangan heroin di Thailand dan hingga kartel di era 80-an di Italia.
Memasuki 90-an dia mulai menilisik International Olympic Committe alias Komite Olimpiade Internasional atas saran movie maker Hollywood, Paul Greengrass. Dari ceritanya, Jennings mulai menangkap ada jaring korupsi di badan olahraga dunia itu.
Juan Antonio Samaranch, presiden IOC saat itu dinilai terlalu diktator. Sangat berkuasa dan dinilai tenggelam dengan puja-puji wartawan yang takut kehilangan akses ke pejabat tinggi dan atlet sebagai narasumbernya.
Jennings dengan berani menulis buku berjudul "boondoggles, suap dan kontoversi obat terlarang" dalam skandal Olimpiade musim dingin 2002 Salt Lake City. Saat ajang empat tahunan itu terjadi, banyak anggota IOC diusir dan mendapat sanksi karena terbukti bersalah. Entah terkait atau tidak, Samarach mundur dari jabatannya.
Organisasi sebesar IOC banyak kasus skandal menghinggapi, bagaimana dengan FIFA? Itu yang ada dalam benaknya. Maka setelah membongkar IOC dia mulai beralih ke FIFA.
Sebuah taktik tak biasa dilakukan Jennings. Untuk pertama kali dia datang ke jumpapers di ZUrich, Swiss pada 2002. Menginjakkan kaki pertama kali di markas organisasi sepakbola dunia itu, dia bilang para pegawainya seperti robot berbalut blazer.
Apa yang dilakukan Jennings di upaya pertamanya?. Dia langsung mengambil mikrofon selepas Blatter berbicara di jumpapers itu.
"Saya dikelilingi banyak wartawan yang memakai jas sangat mewah dan dasi sutra dengan kemeja dikancing," kenang Jennings. "Dan inilah saya dengan sepatu gunung. Saya mengambil mike, dan berkata,"Herr (panggilan profesional bahasa Jerman) Blatter, Apakah anda melakukan suap?"
Pertanyaannya sontak mengejutkan, tak hanya Blatter tapi juga wartawan yang menjauh melihat pertanyaan kontroversialnya. Tapi, Jennings justru bersyukur dengan ulah para jurnalis, dia menjadi sorotan utama.
"Reporter menjauhi saya seperti saya ini makanan busuk. Itu yang saya mau, Terima kasih, reporter idiot," ucap Jennings satu waktu kepada Washington Post.
Pertanyaan Jennings dibantah Blatter. Kalimat singkat itu cukup membuat penguasa FIFA itu memberi perhatian terhadap jurnalis veteran itu. Benar saja, enam minggu kemudian dia mendapat undangan ke sebuah kantor bergaya abad 19 yang menghadapi sungai di Zurich, ya itu kantor FIFA. Pemandangan luar biasa, kenang Jennings.
Di saat menunggu, pejabat senior FIFA datang menenteng sebuah dokumen tebal nan mewah. Satu jam dia berbincang banyak tentang segala hal mengenai organisasi sepakbola dunia itu.
Dari pertemuan satu jam itu, Jennings terperangah dengan fakta mengenai Blatter dan anggota Komite Eksekutif. Si kakek tua tenryata hidupnya sangat mewah tapi ditutup sangat rapat hingga tak terendus siapa pun.
Jennings menyamakan Blatter sebagai diktator. Betapa tidak, si kakek tua menunjukkan kekuasaannya sebagai penguasa dunia lewat sepakbola.
Dia menggaji dirinya sendiri dan bonus, yang katanya mencapai enam digit. Untuk hitungan dollar, itu terbilang fantastis.
Blatter juga tak pernah mau menggunakan pesawat komersial. Dia harus menggunakan pesawat jet pribadi untuk berkeliling dunia. Itu harus. Serta sebuah Mercedes mewah yang harus selalu disediakan untuknya. Layaknya presiden di sebuah negara.
Tapi, tidak seperti presiden sebuah negara, FIFA tak memiliki jadwal dan agenda untuk Blatter. Si kakek asli Swiss itu pergi sesuai keinginan dia. Tipikal diktator sejati.
Soal gaji, Blatter memang sulit ditebak tidak seperti PSSI yang kita tahu Ketua Umumnya digaji 50 juta rupiah per bulan. Kepala Keuangan dan Administrasi FIFA, Markus Kattner dalam wawancara kepada Bloomberg dengan arogan tidak akan mengungkap fakta gaji Blatter dan sudah menyimpannya dengan rapat.
"Kami sudah menyembunyikannya dan Anda tidak bisa menemukan itu. Kami juga tidak mempublikasikan itu, pertama, karena memang kami tidak perlu melakukannya," ucap Kattner beberapa waktu lalu.
Blatter mengancam akan membawa Jennings ke meja hijau. Tapi, hingga hari ini, ancamannya tidak pernah terjadi. Walau Jennings mengaku kerap merasa was-was telepon dan komputernya disadap. Namun, Blatter melarang Jennings menginjakkan kaki di setiap jumpapers FIFA.
Penyelidikan Jennings terus berlanjut hingga lahir sebuah buku berjudul "Foul! The Secret World of FIFA: Bribes, Vote Rigging and Ticket Scandals" pada 2006. Sebuah buku yang dari judulnya terasa familiar di negeri ini, suap, istilah tali rafia tali sepatu for vote president and skandal tiket.
Tak hanya dalam bentuk ancaman. Cercaan dan cemooh kerap dialami Jennings. Ya semacam sebutan "wartawan kardus" kerap dialaminya. Secara fisik pun dia sering mengalaminya.
Itu yang terjadi saat dia bertanya hal yang sama dengan Jack Warner. Kala itu, dia bertemu mantan Wakil presiden FIFA yang kini menjadi buruan Interpol di tempat parkir. Jennings buru-buru mendekat dan bertanya,"Permisi! Apakah anda melakuakn suap di sini?." Warner dan pengawalnya terdiam kaku mendapat pertanyaan itu.
Tiba-tiba, Warner meludahi muka Jennings dan meninjunya dengan keras. Jennings hanya tersenyum. Dia tak gentar meski sendirian membongkar kedok Blatter.
Lalu bagaimana caranya penulis buku "The Beautiful Bung: Corruption and the World Cup" mendapatkan data-data dan fakta dari FIFA di seluruh dunia. Dia wartawan cerdas yang sudah sejak awal membidik informan dari kalangan kelas menengah.
Karyawan FIFA yang memiliki kemapanan ekonomi dan punya nurani ketika kebusukan organisasi sepakbola dunia itu sudah merajalela namun tak terjamah. Pelan tapi pasti banyak yang memberikan informasi untuknya untuk membongkar semua kebusukan FIFA.
Jennings dan FBI
Pada suatu malam di 2009, Jennings mendapat telepon dari mantan 'informannya'. Sang penelpon bilang ingin memperkenalkan dia dengan beberapa orang.
Dia berangkat ke London dan masuk ke sebuah kantor tak dikenal. Di dalamnya sudah ada pria beraksen Amerika Serikat. Dari potongan rambutnya, Jennings menyebut bergaya orang pemerintahan.
Benar saja, Jennings bertemu dengan agen spesialis FBI. "Mereka memberi saya kartu nama dan menyebut mereka dari skuat organisasi kriminal." Wow, FIFA sarang kriminal? Who know!
Jennings seperti mendapatkan motivasi ketika Kepolisian di ERopa diam terhadap FIFA. Dia pun ikut andil dalam segala hal mengenai penyelidikan termasuk saat memberikan laporan keuangan rahasia milik Federasi Sepakbola Amerika Utara dan Kepulauan Karibia atau Concacaf, yang di dalamnya penuh dengan laporan misterius tentang komisi. Nilainya jutaan dollar.
Enam tahun Jennings bekerja bersama FBI. Membongkar satu demi satu kasus dan mencari setiap jejak penipuan, pengaturan skor, penyuapan, pencucian uang hingga korupsi bernilai jutaan dollar.
Jennings sudah mengetahui akan ada pejabat FIFA yang akan dikekang di jeruji besi. Tapi, dia tidak tahu siapa dan kapan itu terjadi.
Sampai akhirnya Rabu, 27 Mei di pagi hari, kejadian besar terjadi di sebuah Hotel bintang lima Baur au Lac di Zurich, Swwis. Tujuh pejabat FIFA ditangkap karena diduga menerima suap jutaan dollar.
Jennings tak tahu kejadian itu. Dia masih tertidur pulas sampai akhirnya dia mendapat kabar soal penangkapan.
Dia hanya tak bisa membayangkan bagaimana para penguasa FIFA yang tinggal di hotel paling mewah di dunia dan biaya ditanggung. Tiba-tiba saat masih tertidur pulas jam enam pagi, ada ketukan dan datang seorang polisi menangkapnya.
"Mereka sampah pencuri olahraga rakyat. Mereka telah mencuri semua, pencuri bajingan," itu kata Jennings kala para pejabat itu digelandang oleh pihak berwajib.
Blatter kini sudah mundur. Jennings yang pernah membongkar kasus besar korupsi pihak kepolisian di Inggris bersiap pensiun. Walaupun keruntuhan rezim si opa tua bisa memberinya akses untuk jumpapers bersama para wartawan parlente, dia lebih memilih untuk mengurus perkebunan di sisa masa hidupnya.
Komentar
Posting Komentar