Beberapa tahun lalu, mungkin sudah hampir sewindu, waktu aku masih kuliah, ada sebuah keluarga yang tinggal tak jauh dari rumahku. Aku kenal mereka dari seorang sahabat yang kenal baik dengan mereka.
Jika kau ke rumahnya, kau akan timbul perasaan iba. Di antara rumah-rumah tembok yang berbaris dalam satu komplek, rumah mereka hanya berdindingkan kayu, yang sedikit mengangkat ke atas.
Alasnya bukan lantai keramik, atau semen. Melainkan tanah yang sudah mengeras. Di dalamnya, tinggal suami istri dengan tiga anak. Dua anak kandung, dan satu anak angkat. Tapi, tahukah kau? Jika kau berada di dalamnya, perasaan iba itu tidak akan ada. Mereka tidak minta dikasihani. Sebaliknya, mereka bahagia dan terpancar rasa syukur tak terhingga, yang hingga sekarang pun tak pernah bisa aku bayangkan betapa indahnya rasa syukur dan keikhlasan yang mereka perlihatkan.
Mereka tak pernah sekalipun mengeluh. Bagi mereka, rumah reyot yang mereka tinggali, harta yang mesti hanya tinggal melekat di dalam tubuh tak berarti apapun. Mereka tetap berjuang demi atas nama dunia, tapi mereka tak menghalalkan cara dan tetap menjadi diri sendiri. Situasi ini jauh berbeda dengan apa yang aku lihat belakangan. Terperanjat setengah mati, ketika tahu orang yang kau anggap bisa dipercaya ternyata palsu. Sampai-sampai aku tak bisa membedakan kebenaran dan kesalahan dalam sebuah kepalsuan.
Entah apa yang ada di otak mereka. Satu orang mengaku dengan lantang, dia punya segalanya, mengakui yang bukan miliknya sebagai haknya, dan bahkan mengarang cerita dan detil dengan sebegitu rupa hingga banyak yang terpedaya. Kebohongan, kebohongan dan kebohongan. Aku tak habis pikir, untuk apa mengumbar kebohongan begitu banyak? Demi harga dirikah untuk dapat disebut sebagai orang kaya tapi tak mampu, ingin disebut pintar tapi sebenarnya bodoh bak keledai, atau ingin disebut paling hebat padahal kebohongannya menunjukkan kau bukan sapa-sapa.
Aku heran, tapi inilah kenyataan dunia. Ada orang yang rela mati-matian untuk menunjukkan kemampuan yang padahal semu. Ingin menunjukkan kepada dunia. Hanya senyuman yang terlempar dari bibirku. Saat aku tahu, banyak orang yang rela menggadaikan kebenaran demi keakuan dalam dirinya. Demi sebuah pengakuan yang hanya ada di dalam pikirannya. Padahal menjadi diri sendiri adalah kebahagiaan paling hakiki. Tanpa harus menutupi jati diri dengan segala kepalsuan.
Tapi hidup itu pilihan. Ada seorang kawan yang kaya raya memilih menjadi diri sendiri, dia tak menyombongkan harta dan kemampuan individu yang dia punya. Dia lebih memilih mengabdi ke masyarakat, tanpa memperlihatkan jati diri dia sebenarnya, tanpa kebohongan....
tya marenka
Alasnya bukan lantai keramik, atau semen. Melainkan tanah yang sudah mengeras. Di dalamnya, tinggal suami istri dengan tiga anak. Dua anak kandung, dan satu anak angkat. Tapi, tahukah kau? Jika kau berada di dalamnya, perasaan iba itu tidak akan ada. Mereka tidak minta dikasihani. Sebaliknya, mereka bahagia dan terpancar rasa syukur tak terhingga, yang hingga sekarang pun tak pernah bisa aku bayangkan betapa indahnya rasa syukur dan keikhlasan yang mereka perlihatkan.
Mereka tak pernah sekalipun mengeluh. Bagi mereka, rumah reyot yang mereka tinggali, harta yang mesti hanya tinggal melekat di dalam tubuh tak berarti apapun. Mereka tetap berjuang demi atas nama dunia, tapi mereka tak menghalalkan cara dan tetap menjadi diri sendiri. Situasi ini jauh berbeda dengan apa yang aku lihat belakangan. Terperanjat setengah mati, ketika tahu orang yang kau anggap bisa dipercaya ternyata palsu. Sampai-sampai aku tak bisa membedakan kebenaran dan kesalahan dalam sebuah kepalsuan.
Entah apa yang ada di otak mereka. Satu orang mengaku dengan lantang, dia punya segalanya, mengakui yang bukan miliknya sebagai haknya, dan bahkan mengarang cerita dan detil dengan sebegitu rupa hingga banyak yang terpedaya. Kebohongan, kebohongan dan kebohongan. Aku tak habis pikir, untuk apa mengumbar kebohongan begitu banyak? Demi harga dirikah untuk dapat disebut sebagai orang kaya tapi tak mampu, ingin disebut pintar tapi sebenarnya bodoh bak keledai, atau ingin disebut paling hebat padahal kebohongannya menunjukkan kau bukan sapa-sapa.
Aku heran, tapi inilah kenyataan dunia. Ada orang yang rela mati-matian untuk menunjukkan kemampuan yang padahal semu. Ingin menunjukkan kepada dunia. Hanya senyuman yang terlempar dari bibirku. Saat aku tahu, banyak orang yang rela menggadaikan kebenaran demi keakuan dalam dirinya. Demi sebuah pengakuan yang hanya ada di dalam pikirannya. Padahal menjadi diri sendiri adalah kebahagiaan paling hakiki. Tanpa harus menutupi jati diri dengan segala kepalsuan.
Tapi hidup itu pilihan. Ada seorang kawan yang kaya raya memilih menjadi diri sendiri, dia tak menyombongkan harta dan kemampuan individu yang dia punya. Dia lebih memilih mengabdi ke masyarakat, tanpa memperlihatkan jati diri dia sebenarnya, tanpa kebohongan....
tya marenka
Komentar
Posting Komentar