Siang itu, aku bertemu kamu. Berharap pertolongan kamu, agar aku menyusul kekasihku, dadeks, yang ingin terbang pulang ke kampungnya. Tapi, kau dengan tegas bilang, untuk apa mengantar dia yang sering menyakiti.
Entah, apa yang membuatku tak bergerak. Aku hanya duduk, tanpa berusaha mengejarnya. Walau aku pun merasakan, akan ada kesia-siaan, karena dia tak hanya ingin pergi meninggalkan Jakarta, tapi juga aku. Aku hanya bisa menangis, karena aku tahu inilah awal sebenarnya luka aku.
Sampai malam, aku berada disampingmu. Nyaman, ya, aku merasa terlindungi disaat rasa sakit itu mulai terasa. Aku tak pernah bisa membaca pikiranmu, karena aku sering berpikir, tubuh dan jiwamu tak berada di satu tempat. Kenapa? Aku tak pernah tahu.
Sejak saat itu, kita dekat, tanpa ada ikatan. Dekat sebagai teman. Saling menghibur, saling mengisi, bercerita, tertawa, hingga menjelajah hingga ke tepian Jawa. Tak ada apapun yang terjadi, hanya rasa hormat dan saling menghargai. Karena, aku tahu kamu memiliki seseorang disana yang selalu menantimu.
Kamu jadi sahabatku. Kau ada ketika persahabatanku terkoyak karena ada yang berusaha sembunyi dari aku. Kamu bisa menenangkanku. Kau juga yang hadir dari malam hingga subuh hari, menemaniku disamping jenazah ibu kandungku.
Perjalanan waktu tak bisa dielakkan, kalau memang aku sayang. Tapi, aku sadar tak mungkin merebutmu dari orang lain yang sudah memilikimu bertahun-tahun. Aku hanya dapat menunggu sampai suatu saat, Tuhan mendengar doaku. Jahat, mungkin, tapi aku sendiri tak bisa menampik rasa sayang.
Tiba-tiba, saat itu datang. Mungkin setahun lalu. Aku tahu kita sering sms, tapi hanya sekadar say hello atau cerita, meski ujung dari situasi ini kita tahu, ribut. Namun sms mu malam itu berbeda. Kau sudah lepas darinya, dan ingin memulai hal baru. Kau nanya, apakah aku masih sayang? Awalnya aku diam, kami terus berkirim pesan, tapi malam itu berakhir seperti yang lalu-lalu, ribut.
Tapi, akhirnya kami mencoba. Awalnya tanpa status, hingga embel-embel pacaran aku dapatkan. Tapi, ada yang hilang, sahabatku yang dulu dengan mudah bercerita dan bertutur tentang hidupnya, tak pernah lagi terbuka. Dia lebih banyak diam. Aku coba mencari tahu, tapi seperti menyibak awan hitam yang tak berkesudahan, aku tak menemukan jawaban.
Ternyata semua terbuka. Aku hanya titik dari bagian kisahnya. Cinta yang ada dalam diriku, ternyata hanya milikku sendiri. Cintanya masih sama orang lain, dan itu bukan aku. Aku kehilangan semua, terutama sahabatku.
tya marenka
Entah, apa yang membuatku tak bergerak. Aku hanya duduk, tanpa berusaha mengejarnya. Walau aku pun merasakan, akan ada kesia-siaan, karena dia tak hanya ingin pergi meninggalkan Jakarta, tapi juga aku. Aku hanya bisa menangis, karena aku tahu inilah awal sebenarnya luka aku.
Sampai malam, aku berada disampingmu. Nyaman, ya, aku merasa terlindungi disaat rasa sakit itu mulai terasa. Aku tak pernah bisa membaca pikiranmu, karena aku sering berpikir, tubuh dan jiwamu tak berada di satu tempat. Kenapa? Aku tak pernah tahu.
Sejak saat itu, kita dekat, tanpa ada ikatan. Dekat sebagai teman. Saling menghibur, saling mengisi, bercerita, tertawa, hingga menjelajah hingga ke tepian Jawa. Tak ada apapun yang terjadi, hanya rasa hormat dan saling menghargai. Karena, aku tahu kamu memiliki seseorang disana yang selalu menantimu.
Kamu jadi sahabatku. Kau ada ketika persahabatanku terkoyak karena ada yang berusaha sembunyi dari aku. Kamu bisa menenangkanku. Kau juga yang hadir dari malam hingga subuh hari, menemaniku disamping jenazah ibu kandungku.
Perjalanan waktu tak bisa dielakkan, kalau memang aku sayang. Tapi, aku sadar tak mungkin merebutmu dari orang lain yang sudah memilikimu bertahun-tahun. Aku hanya dapat menunggu sampai suatu saat, Tuhan mendengar doaku. Jahat, mungkin, tapi aku sendiri tak bisa menampik rasa sayang.
Tiba-tiba, saat itu datang. Mungkin setahun lalu. Aku tahu kita sering sms, tapi hanya sekadar say hello atau cerita, meski ujung dari situasi ini kita tahu, ribut. Namun sms mu malam itu berbeda. Kau sudah lepas darinya, dan ingin memulai hal baru. Kau nanya, apakah aku masih sayang? Awalnya aku diam, kami terus berkirim pesan, tapi malam itu berakhir seperti yang lalu-lalu, ribut.
Tapi, akhirnya kami mencoba. Awalnya tanpa status, hingga embel-embel pacaran aku dapatkan. Tapi, ada yang hilang, sahabatku yang dulu dengan mudah bercerita dan bertutur tentang hidupnya, tak pernah lagi terbuka. Dia lebih banyak diam. Aku coba mencari tahu, tapi seperti menyibak awan hitam yang tak berkesudahan, aku tak menemukan jawaban.
Ternyata semua terbuka. Aku hanya titik dari bagian kisahnya. Cinta yang ada dalam diriku, ternyata hanya milikku sendiri. Cintanya masih sama orang lain, dan itu bukan aku. Aku kehilangan semua, terutama sahabatku.
tya marenka
Komentar
Posting Komentar