Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2012
Adikku.... Kami tak dibesarkan bersama, tapi kami tahu kami saling menyayangi.... Saat kecil, dia selalu datang ke kelasku, hanya sekadar melihat kakak perempuan satu-satunya... Aku ingat ketika saat sekolah dasar aku ikut cerdas cermat, dia paling keras tepuk tangan... Adik kecilku juga mengikuti segala tingkah polahku, sampai rambut pun dia ingin seperti kakaknya... Saat beranjak remaja, kami tak lagi satu sekolah... Jarak memisahkan kami, karena dia harus menuntut ilmu di pesantren, sedangkan aku di sekolah negeri.... Tapi, dia tahu jika kakaknya merindukannya, dia memberi sebuah foto dengan kerudung merah jambunya.... Waktu membuat kami benar-benar terpisah, setelah aku mulai kuliah dan bekerja.... Sampai aku dengar dia memilih menjadi ibu rumah tangga dibandingkan meneruskan kuliah.... Ketika waktu terus berputar, dan mendewasakan....kami benar-benar menjadi kakak-adik seutuhnya... Kala abang-abang kami sibuk dengan diri mereka sendiri, kami berdua berbagi cerita.....

Maaf untuk Siapa?

Aku bertanya padamu, bagaimana jika kamu melihatku mengkhianatimu? Mengoyak-oyak kepercayaan dan cinta yang kau berikan? Apa yang akan kamu lakukan? Dan, itu terjadi tidak satu kali? Aku hanya bertanya apa yang akan kamu lakukan? Kamu hanya memberikan wajah sedihmu, jika aku melakukannya bukan. Entah, itu kebenaran dari kesedihanmu? Seperti yang aku tak mengerti, apa yang kamu lakukan, ini pun aku tak tahu jawabannya. Aku teringat betul, tak boleh di antara kita saling mengkhianati, menduakan atau apapun itu. Aku pegang prinsip ini. Tapi, apa yang terjadi? Siapa yang mengkhianati dan dikhianati bahkan aku tidak tahu. Kecuali aku hanya jadi titik diantara hidupmu. Lalu, apakah bisa semua dimaafkan dengan mudah. Aku sendiri tak tahu, siapa yang harus dimaafkan. Karena bisa jadi, aku yang justru bersalah, aku tak tahu.

Cinta yang Terkoyak

Siang itu, aku bertemu kamu. Berharap pertolongan kamu, agar aku menyusul kekasihku, dadeks, yang ingin terbang pulang ke kampungnya. Tapi, kau dengan tegas bilang, untuk apa mengantar dia yang sering menyakiti. Entah, apa yang membuatku tak bergerak. Aku hanya duduk, tanpa berusaha mengejarnya. Walau aku pun merasakan, akan ada kesia-siaan, karena dia tak hanya ingin pergi meninggalkan Jakarta, tapi juga aku. Aku hanya bisa menangis, karena aku tahu inilah awal sebenarnya luka aku. Sampai malam, aku berada disampingmu. Nyaman, ya, aku merasa terlindungi disaat rasa sakit itu mulai terasa. Aku tak pernah bisa membaca pikiranmu, karena aku sering berpikir, tubuh dan jiwamu tak berada di satu tempat. Kenapa? Aku tak pernah tahu. Sejak saat itu, kita dekat, tanpa ada ikatan. Dekat sebagai teman. Saling menghibur, saling mengisi, bercerita, tertawa, hingga menjelajah hingga ke tepian Jawa. Tak ada apapun yang terjadi, hanya rasa hormat dan saling menghargai. Karena, aku tahu kamu mem...

Surat untuk Ibu

Waktu yang berputar tak mampu membuatku keluar dari masa lalu. Satu per satu semua rangkaiannya masih sama, terluka, dilukai dan hanya bisa menangis. Aku letih dengan semua ini, rasa percayaku makin tipis ketika cinta terus dikhianati.  Seiring waktu, dari masa lalu hingga kini, pengkhianatan terus datang. Ditinggalkan, ditinggalkan dan ditinggalkan. Kisah itu sepertinya tak akan pernah berakhir untukkku. Aku tahu, Tuhan sayang sama aku. Sedari kecil, hanya Dia teman seperjalananku. Kala aku menangis, kala aku tertawa, hanya Tuhan disisiku.  Cerita sedih hanya konsumsiku dan Tuhan yang selalu mendengarku. Aku hanya ingin luka dan derita yang diderita yang kuterima sedari kecil tak dibagi ke orang lain, terutama mak dan bapak. Biar mereka tahu, hanya senyuman dariku.  Entah apa yang kutulis malam ini. Tiga hari lalu, aku duduk disamping pusara ibu kandungku. Aku bilang, aku kangen sama ibu. Makam ibu sudah cantik, aku harap ibu bahagia disana, entah bersama ayah...