Langsung ke konten utama

Menikmati Vientiane Dengan Tuk-tuk



“Brr…rrr..brr..rrr” suaranya begitu melengking saat melintas tepat di jalan raya Dong Dok, Vientiane. Seperti suara bajaj atau bemo yang suara bisingnya kerap menghiasi sudut-sudut jalan di Jakarta.

Namun bentuk fisiknya sedikit berbeda. Sama-sama beroda tiga, tuk-tuk, begitu nama kendaraan umum khas Laos ini disebut, menggunakan mesin motor. Atau lebih mirip bentor, atau becak motor yang ada di Medan.

Jika bajaj dan bemo tertutup, tidak bagi tuk-tuk. Saat naik kendaraan ini, udara segar alias ‘AC alam’ langsung menerpa, karena tak ada sekat apapun di samping kanan kiri mobil kecuali besi penyangga atap mobil.

Untuk kendaraan ini, hanya muat untuk empat sampai lima orang. Jika muatan lebihpun, masih dapat dipaksakan, hanya saja jangan sampai tertangkap polisi.

Tuk-tuk ini dapat menjadi solusi tepat jika ingin memutari Vientiane. Maklum, di kota ini tak banyak angkutan umum seperti metro mini, kopaja atau seperti bus besar lainnya. Meski ada, jumlahnya tak begitu banyak.

Untuk naik kendaraan khas ini, harganya tidak terlalu mahal tergantung kemahiran tiap orang melakukan negoisasi. Kisaran harga 20 ribu kip hingga lebih dapat membuat siapapun yang ingin mengelilingi Vientiane.

Jika ingin lebih murah, ada kendaran umum lain sejenis tuk-tuk namun lebih besar. Kendaraan ini mirip dengan angkutan umum alias angkot yang ada di Indonesia. Bedanya, seperti tuk-tuk yang lebih kecil, di kendaraan ini juga tak tersedia sekat penutup kanan kiri, hingga angin dapat masuk sepuasnya.

Untuk harga bervariasi, mulai dari 3000 kip hingga 20 ribu kip, sesuai jurusan. Namun untuk mendapatkan kendaraan ini harus lebih bersabar, karena jumlah mereka tak terlalu banyak.

Jangan pula terkecoh dengan bujuk rayu jika ada yang menawarkan akan mengantarkan anda ke tempat tujuan. Di awal mereka akan menawarkan harga murah, tapi jika tidak ada negoisasi, para supir akan menembak jumlah harganya sesuai keinginan mereka.

Meski begitu, angkutan umum di Vientiane lebih teratur dan disiplin dibandingkan kendaraan umum di Jakarta atau kota-kota besar di Indonesia. Dalam mengambil penumpang, mereka tidak seliweran seenaknya seperti yang terlihat di pinggir-pinggir kota Jakarta. Mereka menaikkan dan menurunkan penumpang di halte yang sudah disediakan. Walau tidak jalan memiliki halte, karena minimnya fasilitas di Vientiane ini.

Namun jika naik tuk-tuk besar harus hati-hati. Kapasitas penuh, terkadang membuat penumpang yang berada paling ujung menjulurkan kakinya keluar. Jika dilihat polisi, maka mereka dapat ditilang.

Kejadian ini sempat dialami Wina Setyawatie. Keinginannya menikmati suasana kota, dengan sengaja ia mengeluarkan kakinya. Ketidaktahuan inilah yang berakibat fatal.

Kendaraan yang sarat penumpang ini diberhentikan hingga 20 menit lebih. Untungnya, setelah negoisasi karena warga asing yang melakukannya, polisi Laos melepas supir. “Maaf tidak anda tidak boleh mengeluarkan kaki,” sapa seorang penumpang di sebelahnya.

Meski tuk-tuk mendominasi angkutan umum di Vientiane dan kota-kota di Laos lainnya, namun bus dan taksi juga ada. Hanya saja, jumlahnya sangat minim. Untuk kota seperti Vientiane, jumlah taksi hanya ada sekitar 50 unit. Mendapatkannya juga butuh perjuangan keras, yakni menunggu lama karena minimnya jumlah taksinya.

Selain kendaraan itu, penyewaan mobil juga tersedia. Kendaraan ini dapat digunakan untuk dapat melihat seluruh pelosok Laos. Hanya saja harganya cukup mahal, yakni sekitar 500 ribu kip-750 ribu kip.

Namun jika tak memiliki uang lebih untuk menikmati Vientiane dan Laos dengan kendaraan. Jalan kaki juga dapat jadi solusi. Satu hal, menginapnya harus tepat di jantung kota agar mudah mencapai akses-akses wisata atau tempat belanja di kota itu. Ingin mencoba? O tya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bumi Itu Bentuknya Jajaran Genjang! (Sebuah cerita segar)

"Bumi itu datar!" katanya dengan mantap. Kami semua terdiam. Saling menatap mendengar pernyataannya. Sedangkan gw membenamkan wajah di balik  layar komputer. Menahan ketawa agar tidak pecah. Gw terkejut. Itu pasti. Ternyata ada beberapa orang yang gw kenal meyakini betul bumi itu datar. "Ada penjelasannya ga bumi itu datar? Karena selama ini gw taunya bumi itu bulat," cetus seorang kawan dengan wajah yang coba diperlihatkan serius. "Ini semua dasarnya karena keyakinan gw. Dari pelajaran yang gw peroleh ya seperti itu," tegas dia. Kami masih terpaku dengan jawabannya. Bukan terpukau tapi merasa aneh dan mulai tergelitik untuk menanyakan lebih jauh dasar keyakinannya itu. "Ada ceritanya dari balik keyakinan lo itu," tanya seorang kawan lagi. "Jadi gini, dulu ada seorang yang berjalan sampai ujung bumi. Mentok di kutub dan ga bisa lagi. Itu ujung bumi," terang dia. "Ujung bumi itu di kutub?," cetus gw. "Iya dari situ orang...

Kilau Pesona Negeri “Seribu Pagoda”

Di sisi bangunan teratas, terdapat lukisan dan relief-relief yang menggambarkan perjalanan hidup Buddha.  Bagi Anda yang ingin berwisata religi, tidak salah jika memilih Myanmar sebagai tujuan. Di sana, banyak dijumpai pagoda nan megah dan berkilau yang mengundang decak kagum. Negeri “Seribu Pagoda”, begitu sebutan populer Myanmar yang biasa disematkan masyarakat Indonesia. Sebutan itu memang relevan jika melihat banyaknya pagoda yang tersebar di seluruh penjuru negara yang dulu bernama Burma itu. Dengan populasi pemeluk agama Buddha yang mencapai 80 persen dari total penduduknya yang mencapai 61 juta orang, rasanya bukan hal mengherankan jika di Myanmar banyak dijumpai pagoda megah nan indah, tempat beribadah umat Buddha. Sejarah panjang mengiringi pendirian pagoda-pagoda tersebut. Tak heran, jika usia pagoda-pagoda di Myanmar bukan saja ratusan tahun, melainkan hingga mencapai ribuan tahun. Salah satu kota yang memiliki banyak pagoda adalah Yangon. Di sana terdapat sat...

Ini Kisah Maria Londa, dalam Wawancara Desember 2013

Maria Londa Tidak Suka Berlari Tak berhenti berharap dan berdoa menjadi modal Maria Natalia Londa memperbaiki prestasi di pentas SEA Games. Maria Natalia Londa tak pernah berpikir menekuni dunia atletik, terutama lompat jangkit dan lompat jauh. Maria kecil hanya suka menyaksikan I Ketut Pageh berlatih bersama anak asuhnya di sebuah lapangan di Denpasar, Bali. Sering bertemu itu, I Ketut Pageh mulai membujuk rayu Maria untuk menekuni dunia atletik. Sekali lagi, ketertarikan itu belum terlintas dipikiran Maria. Namun, pelatih yang sudah malang melintang di dunia atletik itu tidak menyerah. Rayuan kembali dia layangkan untuk Maria. Dan, Maria pun luluh. Aksi coba-coba dilakukan Maria. Anehnya, terjun di dunia atletik, Maria tidak suka berlari, karenanya dia tidak berminat menjadi atlet nomor lari. Dia pun mulai melirik nomor lompat. “Satu hal yang membuat saya lebih memilih nomor lompatan, karena saya tidak suka berlari,” kata Maria membuka rahasia kecilnya saat berbincang deng...