Langsung ke konten utama

Long Road To Bali....

Beraksi: Aku dan rombongan. (Ki-ka), Esa, Tya, Femi dan Cepi

Etape I: Berantakan di Awal

Minggu pagi (28/11). Cuaca pagi ini cukup cerah. Aku beranjak dari rumah untuk sebuah tugas. 14 hari menjelajah pulau Jawa hingga Bali.
Ini kali pertama sebagai kuli tinta aku meliput balap sepeda terbesar di Indonesia. Di mataku, terbayang sebuah even bergengsi. Bayanganku bukan tanpa kenyataan. Sederet pebalap internasional yang hadir meyakini imajiku.
Dengan taksi aku menyusuri jalanan Jakarta di pagi itu. Karena ini hari libur, jalanan ibukota lengang tanpa kemacetan yang menyergap tiap hari. Supir taksi memacu kencang mobilnya. “Mau kemana mba? Kok ke Senayan,” tanya supir.
Mataku yang masih terkantuk-kantuk beberapa saat tak perduli dengan pertanyaannya. Tapi, akhirnya aku menjawab. “Iya pak. Tugas dari kantor,” jawabku malas.
Saat mobil memasuki daerah arteri Pondok Indah, supir taksi tak berhenti menanyaiku. Berbagai cara untuk menunjukan kesopanan dan pelayanannya malah membuatku malas mendengarkan celotehannya.
Ini karena mataku tak bisa diajak kompromi. Kurang tidur. Membuat mataku tak bisa terbelalak di pagi hari. Insomnia yang melandaku bertahun-tahun seolah tak pernah pergi.
Untung dengan kondisi jalan masih lengang dan matahari yang masih bersembunyi di sisi Timur membuatku lega. Taksi yang kutumpangi sampai lebih cepat dari perkiraanku. “Masuk ke Senayan dekat lapangan Sofbol ya pak. Depan belok kiri,” jelasku.
Tak berapa lama aku sampai. Parkir Barat Senayan. Entah aku yang terlalu cepat atau memang rekan-rekanku yang lambat. Janji jam delapan berkumpul, aku sudah sampai jam tujuh pagi.
Tapi tak apalah. Dibandingkan aku harus terjebak macet. Lebih baik aku datang lebih awal.
Dengan tubuh kecilku ini, dua tas yang kubawa terasa sangat berat. Satu travel bag berisi pakaian dan perlengkapan sangat menyusahkanku. Belum lagi, tas kerja yang berisi laptop makin membuatku terasa makin mengecil. Saat aku mencari mobil untuk menyimpan tas, Wakil Ketua ISSI Sofian Ruzian sedang berdiri tak jauh dari tempatku. Dengan tergopoh-gopoh, aku mendekatinya. “Pagi Pak, Pak mau tanya kalau mobil untuk media dimana ya?” tanyaku.
Pak Sofian-begitu kita memanggilnya-menjawab dengan sopan. “Sepertinya belum datang. Mungkin lagi menuju kesini. Kamu tunggu saja,” ungkapnya.
Salah satu pengurus olahraga di Indonesia ini memang terkenal baik. Dengan jabatan sebagai Wakil Ketua, ia tak enggan untuk membantu siapapun yang membutuhkan. Tak ada gengsi baginya untuk mengulurkan tangan kepada siapapun. Berbeda dengan para pengurus olahraga lainnya, meski sekedar staf, rasa jumawa tetap disandang mereka. Ciri khas yang tak pernah luntur.
Sebelum aku masuk dalam tenda penyelenggaraan aku sedikit berbincang dengannya. Segala pertanyaan aku ajukan termasuk menanyakan kegalauannya yang nampak sekali diwajahnya. “Saya pusing karena sponsor masih belum memberikan sisa dananya. Hampir satu miliar. Padahal itu untuk hadiah,” keluhnya.
Dengan serius, aku mendengar segala ceritanya. Sambil bercerita, panitia lain kerap menghampiri dan menanyakan segala hal tentang kesiapan. Ia selalu menjawab dengan sopan tanpa nada menyuruh alias “ngebosi” seperti banyak pimpinan di negeri ini.
Anehnya, aku melihat mantan pebalap ini seperti mengerjakan semua hal untuk even ini. Seolah ada miskomunikasi yang putus, padahal lomba belum juga dimulai.
Setelah lama berbincang, akhirnya aku memutuskan menunggu tiap menit mobil yang menyimpan tasku datang. Bagi kami untuk meliput balap sepeda, mobil akan menjadi lemari untuk menyimpan segala kebutuhan selama perjalanan. Maklum, balap sepeda memaksa kami tak pernah berhenti.
Setelah menunggu 30 menit, rekanku Cepi Setiadi menelpon. Kuli tinta dari Republika ini menanyai keberadaanku. Sebab, kini ia dalam perjalanan menuju tempat etape pertama digelar.
“Tya udah dimana?,” tanyanya dari balik telepon genggamku. “Sudah sampai,” Jawabku. “Masuknya lewat mana? Gw baru mo jalan,” lanjut pertanyaanya. Kujelaskan secara detil tempatku menunggu hingga Cepi mengerti menunjukan arah tepat kepada supir taksi yang dinaikinya.
Cepi tiba. Untunglah, akhirnya aku ada teman menunggu mobil yang tak kunjung datang. Sambil menunggu kami mencoba segala permainan yang disediakan pihak sponsor.
Kami tak sendiri menunggu. Salah satu wartawan senior di olahraga, Mukhlis dari Kedaulatan Rakyat juga bergabung bersama kami.
Namun setelah menunggu lama, akhirnya kami memutuskan untuk mencari mobil yang kami tunggu. Sebab balap etape pertama sudah hampir dimulai. “Sepertinya tadi aku melihat mobil media di depan FX,” kata Mukhlis.
Keputusan kami tepat. Ternyata mobil itu benar berada di Jalan Pintu I. Dengan segala kepenatan menunggu, untunglah akhirnya aku dapat mengurangi beban. Lega!

Jembatan Sudirman
Saat aku menyusuri jalan Sudirman, para pembalap sudah bersiap untuk beraksi. Namun dahaga menahanku di pedagang kaki lima, untuk sekedar mencari minum.
Tak lama, rekanku Yulia Sapthiani atau Iya dari Kompas smsku. Ia menanyakan posisiku. “Gw di jalan Sudirman ya. Lo dimana?” jawabku.
“Gw dekat jembatan,” jawab Iya.
Setelah terpuaskan haus yang menyekat leherku, aku dan Cepi mencari Iya. “Hei, kita lihat dari atas jembatan aja yuks,” ajaknya setelah kami bertemu.
Kamipun berjalan menyibak puluhan orang yang sudah menanti perlombaan dimulai. Dengan langkah berat, jembatan penyebrangan orang (JPO) kunaiki. Napasku terengah-engah dan berat tasku yang berisi ‘penggilasan’ alias laptop menambah beban saat aku naik ke atas jembatan, rasanya jalan menuju shelter busway ini sangat jauh.
Di atas jembatan, ternyata sudah banyak rekan-rekan kami yang berjejer. Yakni para juru foto yang siap membidik para pembalap dalam kameranya. Para fotografer yang membawa kamera dengan berbagai ukuran. Mulai dari lensa pendek hingga lensa panjang yang terkadang aku sebut ember. Maklum lensa ember ini memiliki panjang yang lumayan.
Mereka berjejer dipinggir jembatan agar tidak mengganggu para pengguna JPO yang lewat. Kamipun sama, mencari tempat yang pas untuk melihat pebalap saling salip di garis finis.
Akhirnya kami mendapat tempat pas sejajar dengan tempat finis para pembalap. Lumayan tiap putaran, kami dapat melihat pebalap yang finis tercepat.
“Kita duduk aja Ya,” kata Iya kepadaku.
“Waduh, kotor dong celana,” jawabku.
“Pakai kertas atau koran dong. Dibanding harus berdiri terus, capek,” sahutnya.
Aku memutuskan mencari sehelai kertas untuk sekedar mengalaskan pantatku. Biar celanaku tak terkena kotoran. Perjalanan 14 hari yang baru dimulai, memaksaku harus mengirit celana panjang, terutama jins. Karena akan sulit bagi kami untuk sekedar mencuci celana dalam sekalipun.
“Ini karena ada balapan aja gw berani duduk di jembatan. Kalau hari biasa pasti ga mungkin,” kata Iya.
“Pastinya. Gila kali duduk di tengah jembatan gini. Tinggal taro kaleng aja di depan kita, banyak yang kasi recehan deh,” ujarku sambil tertawa.
Sambil menunggu, kami mengobrol banyak hal. Ngalor-ngidul entah apa yang kami bicarakan. Cepi memutuskan untuk turun. Ia bergabung dengan wartawan pria lainnya tepat di bawah jembatan.
Dua putaran para pebalap sudah melewati garis finis. Namun real star alias balapan sesungguhnya belum di mulai. Setelah beberapa saat, balapan dimulai. Saatnya mencatat tiap putaran.
Saat balapan berjalan, aku sedikit terpaku dalam lamunan. Aku berpikir begitu lengangnya jalan Sudirman tanpa ada mobil atau motor yang saling berjejalan. Berbeda seeperti hari biasa, tiap kali aku lewat jalan ini.
“The Blues” alias si Biru motorku harus kupacu dengan erat. Maklum menjelang sore, kerap kemacetan selalu hadir hampir satu kilometer di jalan ini. Keluar dari pintu I Senayan, kendaraan berjalan merayap. Jalan yang seharusnya hanya dilewati cukup dua menit, terpaksa harus mengantri hingga 10 menit lebih.
Menyebalkan lagi, karena macet aku selalu mengambil jalan di sisi kiri, berbatasan dengan trotoar. Jalan dipinggir ini tak mulus. Lubang besar dengan genangan air, serta kerikil yang menyebar seolah jadi jebakan tiap waktu. Bila tak hati-hati, motor bisa terpeleset karenanya.
Tak hanya jebakan jalan yang kurang dapat perhatian. Paku yang bertebaran juga siap mengancam. Ingat benar ketika aku harus mendorong motor karena ban kempes. Beruntung ada seseorang yang baik hati yang mau membantuku. Tak terbayang jika aku harus mendorong motor hingga tempat tambal ban yang ada di dekat Hotel Sultan.
Adalah putaran Semanggi yang kerap menjadi pemicu kemacetan. Kendaraan yang ingin ke arah Pancoran atau sekitarnya tiap hari macet. Kendaraan pribadi yang seperti lautan, jomplang bila dibandingkan dengan kendaraan umum menyesaki jalur cepat. Alhasil kendaraan lain yang menuju arah Kota atau Bundaran HI tersedak diantara mereka.
Kondisi makin parah karena bus umum atau taksi seringkali berhenti sembarangan di halte depan Komdak. Alhasil, jalan Sudirman ini tak pernah lekang dari kemacetan.
Lamunanku terhenti, saat pebalap bersiap melewati putaran pertama. “Tuh…liat siapa yang paling cepat. Dicatat saja,” kata Iya.
Karena pertama kali meliput balap sepeda, aku menuruti kata-katanya. Namun saking cepatnya, hanya pembalap pertama yang berhasil tercatat nomor punggungnya. Sedangkan tempat kedua dan ketiga tak dapat terlihat.
Bagi Iya, ini adalah liputan kesekian kalinya untuk balap sepeda. Banyak hal yang dia ketahui yang bagiku masih awam. Tak ayal, aku belajar banyak dari perempuan satu ini.
Dia menjelaskan secara detil seperti apa perhitungan untuk balap sepeda. Serta segala hal nantinya yang akan kutemui berbeda antara etape I Jakarta dengan balapan di jalan raya. Aku mendengarkan secara seksama penjelasannya.
Tapi tiba-tiba dia menyeletuk. “Tumben lo bisa bangun sepagi ini?” katanya sambil mengeluarkan senyumnya.
“Ya iyalah kalau gw bangun siang, ketinggalan dong. Lagian lo juga suka bangun siang kan,” jelasku.
“Iya tapi gw kalau ada urusan tetap bangun pagi. Lo kalau diajak ke Cipayung aja susah,” jawabnya lagi.
Obrolan kami melebar kebanyak hal. Sekali-kali kami melihat pembalap yang melaju kencang di bawah jembatan yang kami duduki. Tak lupa, aku dan Iya sesekali mencatat setiap nomor pembalap agar menjadi bahan tulisan untuk jalannya balapan.
Memasuki lap 7, aku diberitahu Iya akan ada yang harus dicatat. Yakni peserta yang akan mampu merebut intermediate sprint. Karena, di akhir balapan, pembalap yang mencatat waktu tercepat dilintasan lurus ini, sebut raja sprint dan berhak memakai seragam hijau atau green jersey.
Dari 100 meter dari garis finis, aku melihat pembalap berseragam kuning hitam lebih mendominasi. Empat pembalap Malaysia finis terlebih dahulu. Namun setelah mengecek pembalap Anuar Manan yang tampil menjadi yang tercepat.
Pebalap Indonesia tak mau ketinggalan. Beberapa kali berhasil memimpin seperti pembalap Nunung Burhanudin dari Jawa Barat dan Kurniawan dari Benteng Muda Tangerang yang menguasai lap 12. Sayangnya, memasuki intermediate sprint kedua pada lap 14, tiga pembalap Malaysia menerapkan strategi yang sama seperti lap 7. Alhasil Anuar Manan kembali tampil tercepat. Modal cukup untuk memakai green jersey hari ini.
Harapan aku untuk melihat pembalap Indonesia menjadi juara di etape pembuka akhirnya musnah. Meski “Raja Tanjakan” Indonesia Tonton Susanto (Dodol Picnic Garut) sempat memimpin namun di akhir balapan pembalap Artemy Timofee (Polygon Sweet Nice) tampil tercepat dan berhak menyandang yellow jersey. Tanda sebagai juara klasemen umum.
“Sial, pembalap Indonesia ternyata tak mampu ya Ya,” gerutuku.
“Kalau tidak ada kerjasamanya, ya seperti itu Ya. Pebalap Indonesia kalau menang harus saling bantu,” timpal Iya.
Setelah acara pengalungan juara dan acara jumpa pers usai. Kami semua yang akan ikut dalam tour bersiap untuk ke Bandung. Kota kedua yang jadi persinggahan tim balap sepeda untuk memulai etape II dari Bandung hingga kota Udang Cirebon.
Akupun mulai berjalan kaki menyisiri kembali jalan Sudirman menuju pintu I, di depan Plaza FX yang masih baru. Mobil tempatku menaruh tas ternyata sudah berisi empat wartawan. Budi Arab-panggilan untuk mas Budi sudah duduk di samping supir yang akan mengiringi kami selama 13 hari. Mas Budi merupakan wartawan senior dari harian Suara Merdeka. Di kursi belakang, pak Mukhlis sudah duduk manis di kursi tengah. Sedangkan satunya, Cepi.
“Mana teman-teman kamu ya? Siapa aja yang masih disana. Kita harus sudah jalan?” tanya mas Budi.
“Sepertinya masih wawancara mas. Soalnya tadi pas aku jalan ke sini, mereka masih sama pembalap. Kayanya seh ama Parno,” jawabku.
Hampir 15 menit kami menunggu. Femi Diah dan Esther Laztania tak juga muncul. Dua orang ini wartawan perempuan yang tangguh. Tak perduli waktu atau cuaca, keduanya selalu berusaha keras mencari berita meski harus mengorek lebih dalam narasumbernya. Femi adalah wartawan harian Jawa Pos. Sedangkan Tania-panggilan Esther- jurnalis dari Koran Tempo.
Karena lama menunggu. Aku dan Cepi mencoba menghubunginya. Beberapa kali panggilan kami diabaikan.
Ditengah menunggu mereka, beberapa wartawan lain ingin bergabung dengan mobil kami. Tapi, mas Budi lebih memilih Femi dan Tania untuk bernaung dalam satu mobil. Maklum, perjalanan 13 hari di dalam kendaraan membutuhkan suasana nyaman agar tetap kompak.
“Fem, dimana? Kita sudah nunggu di Pintu I lho,” tanyaku.
“Aku dan Tania sudah di mobil. Sudah di depan garis star,” sahutnya.
Kamipun memutuskan jalan menuju hotel di kawasan Citra Land. Karena, rombongan seluruhnya akan berangkat bareng dari sana.
“Lho, kalau Femi dan Tania disana. Mobil kita kosong dong,” kataku.
“Udah biarin aja. Kan enak bisa tidur kalau pas di jalan,” ucap pak Mukhlis.
“Iya juga ya,” sahutku.
Perjalanan dari Senayan menuju Citra Land tak memakan waktu lama. Hanya 10 menit. Ditengah perjalanan, harapanku meninggi jika kami dapat makan siang di hotel tersebut. Maklum sejak pagi, perutku keroncongan tak tertahan.

Berantakan Dimulai
Akhirnya kami sampai juga di sebuah hotel di bilangan Tomang, Jakarta Barat. Namun baru memasuki tempat parkir ada sedikit kekacauan berlangsung.
Ternyata mobil media yang jumlahnya enam dari Senayan salah. Satu mobil lainnya ternyata diperuntukan untuk panitia.
“Ada apa seh?” tanyaku dari jendela mobil.
“Tak tahu mba. Mobilnya ternyata salah. Yang kami naiki untuk panitia. Tapi, kok di pasang stiker Media,” ungkap Tania kesal.
“Ya sudah disini saja. Masih muat kok,” jelasku.
“Trus Femi, gimana?” tanyaku lagi.
“Masih cari,” jelasnya.
“Ya sudah Femi disini aja. Cukup kok,” ucapku.
Ditengah keributan, kordinator wartawan muncul, Asep Supriyatna. Wartawan senior dari TVRI yang ditunjuk PB ISSI menjadi penanggung jawab media.
“Disini wartawan berapa orang. Kita kekurangan mobil, jadi beberapa wartawan pindah ke sini,” jelas Asep.
Tak ambil pusing, mas Budi menarik para wartawan yang bertubuh mungil untuk bergabung di mobil kami. Setelah Tania dan Femi, wartawan Seputar Indonesia Maesaroh Jamzuri bergabung juga dengan kami.
Inilah awal berantakannya panitia dalam menghelat acara ini. Berbeda dari pengalaman pak Mukhlis atau Mas Budi yang sudah beberapa kali ikut lomba ini. Terakhir kalinya, balap sepeda digelar 2006, tiap mobil hanya berisi 4-5 wartawan. Karena, selain membawa diri, bertumpuknya barang bawaan membuat mobil jauh lebih sempit.
Alhasil dengan lima mobil, wartawan dipaksa berjubel ria di dalamnya. Tiap mobil berisi tujuh jurnalis dari 30 wartawan yang berangkat. Termasuk mobil yang aku naiki. Meski sudah dibagi, beberapa wartawan belum kebagian transportasi.
Aku tak ambil pusing. Setelah sampai di Hotel, aku mencoba mencari makanan. Siapa tahu disediakan panitia, pikirku. Tapi, harapanku musnah, tak ada satupun makanan yang disediakan.
Demi mengisi kekosongan perutku, aku membeli makanan di minimarket hotel. Itupun hanya sekedar coklat dan minuman ringan. Tapi, itu semua tak dapat memenuhi hasrat laparku yang sedari pagi belum terisi makanan berat.
Satu jam kami menunggu dan mataharipun berada tepat di kepalaku. Tak ada kejelasan dari panitia. Padahal, waktu terus berjalan dan aku harus membuat tulisan untuk kantor.
Setelah menunggu lama, akhirnya kami berangkat. Yang membuatku bingung, ternyata kami tak bareng dengan rombongan pembalap dan panitia. Berbeda dengan niat awalnya. Aneh!
Dalam hatiku ya sudahlah. Yang terpenting aku dapat sampai lebih cepat di kota Kembang untuk menyelesaikan tugasku. Itu yang utama.
Sial, keinginanku untuk dapat mencapai Bandung dalam dua jam tidak tercapai. Bahkan baru beberapa kilometer di luar Jakarta, rombongan kami harus menghadapi kemacetan parah yang melintang di tol Cikampek. Dua jam Jakarta-Bandung seolah hanya slogan Jasa Marga agar jalan tol yang dikelolanya setiap saat dapat menghasilkan uang dari para pengendara yang melintas.
Dua jam kami terjebak macet. Entah beberapa kali diantara kami tak sadarkan diri jatuh tertidur di kursi mobil. Akupun sama. Keringat mengucur deras dari belakang leherku. “Perasaan gw tidur sudah lama banget. Kok bangun masih disini aja,” tanyaku.
“Ya iyalah, memang kita dari tadi tidak gerak,” jawab Cepi.
Lama menunggu akhirnya kami keluar dari kemacetan. Lapar yang menghinggapi kami semua akhirnya memutuskan kordinator untuk berhenti di tempat peristirahatan hampir jam tiga sore. Kamipun mencari makanan yang sesuai selera kami.
Bagiku, makanan seenak apapun rasanya sudah tak ada rasa. Maag dan lambungku sudah tak dapat ditoleransi. Usai menyantap makanan, Iya telpon.
“Ada apa Ya,” tanyaku.
“Sudah pegang hasil keseluruhan belum?” tanyanya dari balik telpon.
“Belum. Tapi, tadi ada. Hanya ada satu. Nanti gw pinjemin. Butuh sekarang?” tanyaku.
“Iya. Soalnya bingung mau nulisnya kalau belum ada hasil. Thanks ya,” sahutnya.
“Gw coba cari dulu. Nanti kalau dapat gw telpon lo,” jelasku.
“Ok,” jawab Iya sambil menutup telpon.
Aku mencoba mencari selembar kertas putih berisi deretan nama dan waktu. Catatan yang menjelaskan pebalap yang tercepat di etape pertama.
“Pak Asep. Boleh pinjam hasil balap hari ini?” tanyaku.
“Aku tidak pegang ya. Tadi ada satu, sekarang dipegang Danang,” jawabnya.
Ditengah kebingungan, aku kini harus mencari dua hal. Kertas result dan wartawan bernama Danang. Namanya tidak familiar di kalangan wartawan olahraga. Wartawan muda dari RRI yang mendapat tugas untuk meliput balapan ini.
Akhirnya dengan tanya sana sini. Aku menemukannya. “Mas bisa pinjam hasil balap hari ini,” pintaku.
“Ini, tapi nanti kasi ke gw lagi ya. Soalnya gw harus siaran langsung setengah empat,” jelasnya sambil memberikan kertas itu.
“OK,” jawabku.
Mendapat kertas itu, lalu aku menghubungi Iya. Namun Iya lebih memilih menelpon balik aku. Dia menanyakan banyak hal yang tertuang dalam kertas itu. Meski aku sedikit mengernyitkan dahi karena masih awam dengan angka-angka itu, dia mencoba menjelaskannya.
Sambil menjelaskan, aku mengikuti langkah Femi dan Tania yang menuju minimarket di tempat peristirahatan itu. Pas memasukinya, percakapanku dengan Iya selesai. Dia sudah mendapatkan seluruh data yang ada di kertas putih itu.
Di dalam minimarket, begitu banyak orang yang membeli. Antri. Aku mencoba mencari sedikit barang yang kubutuhkan dan camilan.
Tak terasa, panggilan telepon berdering. Cepi mengatakan rombongan siap berangkat kembali. Aku pun cepat-cepat menuju tempat parkir.
“Gimana kalian. Harus cepat. Nanti ketinggalan,” tegas Mas Budi.
Danang yang menunggu kertas hasil balapan mendekatiku. “Ya kertasnya mana. Gw mo siaran nanti,” tanyanya.
“O iya. Neh, thanks ya,” ucapku.
Perjalanan menuju Bandung kembali di mulai. Entah apa yang menaungi kami. Langkah menuju Bandung terasa lebih berat dari perjalanan-perjalanan sebelumnya ke Paris van Java.
Betapa tidak, beberapa saat memasuki kembali jalan tol. Mendung menaungi kami. Hitam pekat. Hingga waktu seperti suasana malam hari.
Tak lama, hujanpun akhirnya turun. Deras dengan tiupan angin cukup kencang. Air bak tumpah dari langit sejadi-jadinya. Petir pun saling bersahutan. Menambah dramatis suasana jalan tol.
Suasana ini membuat para juru kemudi memperlambat laju kendaraan. Pak Andi yang akan mengiringi kami selama perjalanan tak berani tancap gas kencang dengan jalanan yang licin.
Namun mobil media yang lain seperti tak perduli dengan genangan air yang menempel di aspal. Mereka terus memacu kendaraanya dengan kecepatan tinggi. Padahal jarak pandang kemudi tak lebih dari 10 meter. Jarak yang cukup berbahaya.
Benar saja, kejadian buruk terjadi. Mobil media Suzuki AVP warna hitam menabrak kendaraan pribadi dengan cukup keras. Bemper belakang dan sepanjang punggung kanan kendaraan tergores hingga ada penyok di bemper depan. Cukup parah.
Beruntung kecelakaan ini tak memakan korban. Mobil kijang yang ditabrak juga tak menuntut apapun. Hingga mobil Suzuki itu dapat kembali melaju ke Bandung.
Selama perjalanan, aku gelisah. Dua berita yang menjadi tugasku, satupun belum kuketik. Padahal hari sudah beranjak sore. Aku mencoba menenangkan diri dengan membuka laptopku, sambil mengetik beberapa bahan yang sudah tersedia. Terutama jalannya balapan, yang bahannya aku dapatkan dari duduk di atas jembatan. Sangat bermanfaat.
Akhirnya kami tiba di kota Bandung. Namun dari pintu tol, kendaraan media sempat tercecer tak jelas. Tapi mobil kami mengikuti sirene polisi yang membimbingi kami melintasi kemacetan Bandung yang tak berbeda jauh dengan Jakarta.
Kami sampai di depan gedung Sate. Kantor tempat pemerintahan profinsi Jawa Barat yang dipimpin Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf. Gubernur yang mengepalai juga daerahku. Daerah yang berbatasan langsung dengan Jakarta. Herannya, sudah beberapa kali ganti Gubernur tak pernah kutengok dari mereka hadir di tempat kami. Jadi, saya tak merasa yakin tercantum sebagai penduduk Jawa Barat.
Sesampainya di gedung Sate, aku bertambah gelisah. Bukan solusi yang kudapat tapi bertemu kembali masalah. Kami satu-satunya rombongan media yang tercecer. Yang lain sudah langsung menuju asrama Telkom, tempat kami menginap untuk satu malam.
“Aduh, gimana neh. Gw harus kirim berita sudah deadline,” tegasku kepada yang lain.
Mereka juga dihinggapi perasaan yang sama. Setelah berunding kami memutuskan untuk mencari sendiri asrama itu. Namun saat kami memutuskan kembali ke mobil. Salah satu rekan kami Maesaroh atau yang dipanggil Esa sudah pergi melebur ke dalam keramaian.
“Kalau ada yang punya nomornya telpon dong,” kata mas Budi.
“Waduh, sepertinya belum ada yang punya,” sahut Femi.
Ditengah menunggu, hujan kembali turun. Selang berapa lama, Esa muncul. “Wah anak jin ini. Kemana aja? Kalau pergi jangan jauh-jauh dong,” celoteh mas Budi dengan nada sedikit mengomel.
Kamipun akhirnya jalan kembali menyusuri jalan-jalan di kota Bandung. Mencari asrama Telkom yang ternyata cukup jauh dari gedung Sate.
Cepi yang pernah kuliah di kota ini menjadi pemandunya. Tapi sudah beberapa tahun meninggalkan Bandung, Cepi sedikit linglung dengan jalurnya. Beberapa kali kami sedikit mengomel sambil bercanda karena dirinya tak yakin arah pasti ke asrama. Hingga kami harus bertanya-tanya ke orang yang kita temui atau menelpon Ferry. Wartawan harian Pikiran Rakyat yang memang asli dari daerah ini.
Akhirnya kita sampai. Sebuah komplek asrama yang berada cukup jauh dari pusat kota. Sedikit terkejut, niat untuk mendapatkan tempat yang nyaman pupus ketika kami naik ke lantai empat.
Keluar dari lift, asrama yang khusus dibangun untuk pelatihan para pegawai telkom seperti tak terurus. Bak bangunan tua yang tak lagi berpenghuni. Sedikit menggidik bulu kudukku, memikirkan hal-hal aneh menyamakan bangunan ini seperti rumah tua.
Tapi, pikiran itu segera berkelit jauh ketika aku memikirkan pekerjaan. Ya, dua berita yang harus kukirim belum ku selesaikan satupun.
Masuk kekamar, aku langsung membuka laptopku. Pelan tapi pasti tiap kata kususun jadi kalimat. Menceritakan keberhasilan pembalap Polygon Sweet Nice (PSN) Artemy Timofeev dari Rusia yang tampil tercepat dalam etape pertama di Jakarta.
Dalam kisahnya, pria bule yang sedikit bicara ini tak memberikan banyak komentar terutama soal laga besok. “Saya belum membicarakan soal strategi bersama tim. Jadi saya belum mengetahui betul apa yang akan kami lakukan. Pastinya dapat lebih baik dari hari ini,” kata Timofee tertulis jelas dalam tulisan pertamaku.
Setelah selesai kukirim satu berita. Kemudian berlanjut menyusun rangkaian kata menceritakan perjuangan pembalap Indonesia Parno. Tidak seperti namanya, Parno tak gentar menghadapi persaingan pembalap nasional yang sudah memiliki nama. Pembalap asal Solo ini langsung menggebrak dengan jadi yang tercepat mengalahkan nama besar Tonton Susanto atau Ryan Ariehaan.
Lega, itulah rasanya ketika akhirnya aku menuntaskan pekerjaanku hari ini. Tapi ini semua baru awal.
Usai menulis, aku mencoba mandi di kamar sebelah, tempat Esa dan Sinta dari Wartakota menginap. Di kamar mandi mereka, aku sedikit merinding. Suasana kamar mandi, persis sama seperti yang aku lihat di cerita-cerita film Indonesia.
Dengan sedikit ketakutan aku mencoba mandi dengan secepat mungkin. Saat aku baru mulai, Sinta berteriak. “Tya, gw keluar dulu ya. Mau ke mini market sebentar.”
Aku buru-buru menjawab. “Sin, jangan tinggalkan gw. Gw ga mau tahu, gila gw ditinggal sendiri. Sebentar lagi selesai,” ungkapku.
Dari balik pintu, aku dengar Sinta, tertawa terbahak-bahak. “Hahaha…iya deh gw tungguin.”
Selesai mandi, badanku kembali segar.Namun tak sepenuhnya bugar, sebab baru melewai etape pertama, aku sudah terserang penyakit batuk. Tenggorokanku terasa seperti digaruk-garuk hingga setiap saat aku terus batuk. Hingga harus membeli obat di mini market dekat tempat kami menginap.
Sekembali dari mini market, aku berusaha menenangkan diri dan tidur. Meski sebelum tidur ada sedikit keributan kecil. Wartawati senior dengan seenaknya merokok, padahal batukku tambah parah. Lebih menyesakkan, kamar mess kami tidak memiliki ventilasi yang cukup, sehingga asap hanya menggumpal di dalam kamar. (bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bumi Itu Bentuknya Jajaran Genjang! (Sebuah cerita segar)

"Bumi itu datar!" katanya dengan mantap. Kami semua terdiam. Saling menatap mendengar pernyataannya. Sedangkan gw membenamkan wajah di balik  layar komputer. Menahan ketawa agar tidak pecah. Gw terkejut. Itu pasti. Ternyata ada beberapa orang yang gw kenal meyakini betul bumi itu datar. "Ada penjelasannya ga bumi itu datar? Karena selama ini gw taunya bumi itu bulat," cetus seorang kawan dengan wajah yang coba diperlihatkan serius. "Ini semua dasarnya karena keyakinan gw. Dari pelajaran yang gw peroleh ya seperti itu," tegas dia. Kami masih terpaku dengan jawabannya. Bukan terpukau tapi merasa aneh dan mulai tergelitik untuk menanyakan lebih jauh dasar keyakinannya itu. "Ada ceritanya dari balik keyakinan lo itu," tanya seorang kawan lagi. "Jadi gini, dulu ada seorang yang berjalan sampai ujung bumi. Mentok di kutub dan ga bisa lagi. Itu ujung bumi," terang dia. "Ujung bumi itu di kutub?," cetus gw. "Iya dari situ orang...

Ini Kisah Maria Londa, dalam Wawancara Desember 2013

Maria Londa Tidak Suka Berlari Tak berhenti berharap dan berdoa menjadi modal Maria Natalia Londa memperbaiki prestasi di pentas SEA Games. Maria Natalia Londa tak pernah berpikir menekuni dunia atletik, terutama lompat jangkit dan lompat jauh. Maria kecil hanya suka menyaksikan I Ketut Pageh berlatih bersama anak asuhnya di sebuah lapangan di Denpasar, Bali. Sering bertemu itu, I Ketut Pageh mulai membujuk rayu Maria untuk menekuni dunia atletik. Sekali lagi, ketertarikan itu belum terlintas dipikiran Maria. Namun, pelatih yang sudah malang melintang di dunia atletik itu tidak menyerah. Rayuan kembali dia layangkan untuk Maria. Dan, Maria pun luluh. Aksi coba-coba dilakukan Maria. Anehnya, terjun di dunia atletik, Maria tidak suka berlari, karenanya dia tidak berminat menjadi atlet nomor lari. Dia pun mulai melirik nomor lompat. “Satu hal yang membuat saya lebih memilih nomor lompatan, karena saya tidak suka berlari,” kata Maria membuka rahasia kecilnya saat berbincang deng...

AirAsia aircraft flight QZ8501 HAVE FOUNDED

Indonesian National Save and Rescue (SAR) have founded AirAsia flight QZ8501 plane in Karimata straits, Pangkalan Bun, Middle Borneo. They founded six dead bodies and emergency exit a plane.  "The location was 15-20 km to the east at the last point AirAsia detected in Karimata Strait , " explained Pangkoops I Marsma Dwi Putranto in Pangkalan Bun , Tuesday ( 12/30/2014 ). Based on the location , area of ​​sightings of these objects were around Gulf Air Hitam . The appearance of objects suspected of objects belonging to AirAsia plane QZ8510 occurred around 11:00 , after approximately five hours for aircraft conducting searches inland , coastal , and ocean in the southern part of Borneo island. Dirops Basarnas Supriyadi, who ensuring body, told reporter in Pangkalan Bun, he watch three body floating in the sea. Supriyadi together members helicopter ride to check the floating body reportedly based on reports CN235 aircraft are photographing objects suspected...