Langsung ke konten utama

Hijab dan Sahabat

Fenomena hijab! 

Itu kalimat yang terlontar dari sebuah kawan di media sosial Facebook, tak berselang lama setelah kawan-kawan mempublish foto saya yang menggunakan kerudung. Dari judul itu, dia mengkritisi, perempuan-perempuan muda atau siapapun yang mulai mengenakan kerudung. Istilah sekarang ada yang bilang hijrah. 

Dia menulis panjang lebar tentang tren jilbab yang digunakan para perempuan di Indonesia. Dalam tulisannya, dia menilai para perempuan mengenakannya bukan karena keyakinan tapi karena ikut-ikutan. 

Saya tak mengomentari pernyataan itu. Justru saya bertanya pada diri saya sendiri, apa benar tujuan saya seperti itu. 

Sebelum mendapat jawabannya, saya akan bercerita sedikit tentang pencarian saya tentang agama.

Saya lahir dan langsung tak mengenal ayah dan ibu kandung saya. Saya dibesarkan oleh orang tua yang tak memiliki latar belakang agama yang kuat. Kalau bisa dibilang, mungkin islam abangan. 

Kedua orang tua yang membesarkan saya, bekerja banting tulang hingga larut malam ketika saya butuh pendidikan agama. Saya memang mengaji seperti anak kampung lainnya. Tapi, saya ini anak yang nakal. Sering bolos dan lebih memilih nonton tv dibanding berlama-lama di langgar atau mushala karena memang tak ada bapa dan mak di rumah. Alhasil, dari sisi mengaji dan agama, saya jauh tertinggal dari anak-anak seusai saya. 

Satu hari, saya masih ingat almarhum Ustad Nurhasan, guru ngaji di kampung sempat bilang ke abang saya. Mengingatkan adiknya untuk rajin-rajin mengaji. Abang saya itu salah satu anak yang jago mengaji. Sering jadi tumpuan untuk acara-acara keagamaan. Perbedaan 180 derajat dengan adik perempuannya. 

Beranjak remaja, saya mulai kritis. Sebal dengan eksklusivitas yang justru memojokkan kaum terpinggirkan seperti saya. 

Ceritanya begini. Satu waktu, saya bilang begini ketika diminta pendapatnya soal pengajian remaja. "Bang Peno (guru ngaji), kenapa sih pake ada gap-gap antara yang pintar ngaji sama yang gak. Lah, yang bego-bego kaya kami ini diajak dan diajari. Lah, yang bego kaya kita ini ya mending ngobrol dibandingkan dicuekin sama yang pintar-pintar itu."

Kalau ingat kejadian ini saya hanya bisa tersenyum. Sang guru justru mengatakan saya sebagai seorang yang sirik alias iri karena tidak mampu. Entah dia menyimak atau gak, saya sendiri dah bilang bego. Artinya kami sudah menempatkan diri di posisi terendah. 

Walau tak jago ngaji, soal puasa dan shalat tarawih kalau puasa, saya jagonya. Gak pernah bolong, bahkan berupaya mengalahkan abang saya. Kalau soal shalat wajib, itu yang agak susah.

Kalau ditanya soal Islam saat remaja, saya akan bilang saya tak tahu apa-apa. Saya hanya tahu bacaan Juz Amma dan sedikit Al Qu'ran surah-surah awal. Itu pun saya tak tahu artinya. 

Saya benar-benar Islam karena orang tua. Maklum seumur itu belum punya KTP, jadi gak bisa bilang Islam KTP. 

Apakah kebodohan ini membuat saya menyalahkan orang tua? Tidak sama sekali. You know, mak dan bapa adalah dewa yang membesarkan saya, ketika orang tua kandung itu abai. Cara mereka membesarkan saya dengan sebuah kasih sayang adalah pelajaran terbesar arti Islam sesungguhnya. 

Menemukan Islam

Seorang sahabat di masa SMU, bernama Fenny Ludin, yang mendekatkan saya tentang Islam. Seorang perempuan cerdas pencinta komik Jepang yang mengajak saya dekat dengan Islam. 

Darinya saya belajar banyak tentang Islam Rahmatan Lil Alamin. Dari keluarga berada, jilbab syar'i yang dia kenakan puluhan tahun lalu tak membuatnya menjauh dari anak seorang buruh seperti saya. Perempuan yang bodoh soal agama. Kepintarannya juga tak menjadi sekat dengan anak yang punya nilai rata-rata seperti saya. 

And u know, dia berasal dari Muhammadiyah. Ada sedikit perbedaan yang ternyata selama ini tak saya sadari. Ketika saya bertanya tentang agama, dia menjelaskan dengan gamblang perbedaan itu, tanpa sengaja menyuruh saya melakukan hal yang sama seperti dia lakukan. 

Hebatnya, dia mengenalkan saya pada dunia luar. Kehebatan internet yang di Indonesia kala itu masih hanya segelintir yang menggunakannya. Bahkan telepon genggam pun belum beredar seperti sekarang. 

Kekaguman saya mengenalnya membukakan mata hati saya. Inilah Islam. Tak ada sekat, tak ada perbedaan, tak saling menjatuhkan dan tak ada saling menghinakan.

Kisah pertemuan saya dengan Fenny pernah saya tuliskan dalam sebuah karya yang buat saya pernah meraih juara kedua lomba tulisan saat orientasi di kampus. Bertema Islam Rahmatan Lil Alamin, saya mengisahkan pertemuan dengan seorang Fenny yang membawa saya mengenal Islam sesungguhnya. 

Selepas dari sekolah, saya belajar banyak dari teman. Bahkan sempat mengenakan jilbab hingga beberapa bulan. Tapi, kemudian saya lepas karena ada kegamangan, takut tak mampu membawanya dengan baik. 

Dalam empat tahun terakhir, keinginan mengenakan hijab kembali tertanam. Alasannya tak hanya mengikuti tren. Tapi, saya ingin dekat dengan sahabat masa kecil saya, yakni Tuhan. 

Mungkin terdengar gila kalau saya bilang sahabat. Tapi, kenyataan Dia lah sahabat yang tak pernah lelah mendengar keluhan, tangisan dan jeritan saya di antara tembok-tembok kamar atau di sebuah tempat yang sunyi. 

Dia yang selama ini membantu saya bangkit dari keterpurukan. Tangan-tangan Nya luar biasa dahsyat terhadap hidup saya. 

Saya akui saya bodoh soal agama sewaktu kecil, sekarang pun masih sama. Tapi, di saat sendirian di manapun saya berada, saya selalu berbicara dengan Nya. Sebuah bangunan mesin di pinggir desa, dulu tempat saya menyendiri sepulang sekolah jadi tempat curhat saya dengan Nya. 

"Tuhan, selalu bantu saya ya. Saya memang dibuang ibu dan ayah, tapi saya yakin Tuhan sayang sama saya," kalimat itu sering terlontar dari mulut ini. 

"Tuhan, kenapa mereka selalu menyebut saya anak pungut?"

Apakah Tuhan tak mendengarkan, meski saya tak melakukannya dengan cara Islami? Saya akan bilang, Tuhan itu Maha Baik. Tuhan itu Maha Tahu. Tuhan itu Maha Pemaaf.

Tiga tahun terakhir, saya berada di titik nadir mental manusia. Terjatuh dan terhempas sekeras-kerasnya ke bumi. Dari wajah mungkin saya tak menampakkannya, tapi jiwa ini terguncang hebat. 

Pelan-pelan saya menarik diri. Menjauh dari kerumunan. Mencoba berbicara tapi hanya dalam hati. Saya bukan orang yang bisa mengekspresikan kesedihan dengan mudah. Menangis adalah barang mahal untuk mengungkapkan kehancuran jiwa kepada sesama manusia. 

Hanya Tuhan, ya hanya Tuhan saya berani lantang menangis. Saya berani berjam-jam bercerita dan bertutur, seolah Dia ada di samping saya. Tuhan seolah mendekap hangat tubuh ini ketika terguncang hebat saat mengungkapkan segalanya. Tuhan seolah mengusap hangat kepala saya, seperti seorang ayah yang meredakan tangis anaknya. 

Dia tak hanya Maha Mendengar. Dia memberi segalanya dengan tak terduga. Lihat saja, bagaimana saya membangun istana untuk mak dan bapak, di saat tak ada uang satu rupiah pun di kantong ini, dua tahun lalu. Keajaiban Tuhan diturunkan lewat tangan-tangan manusia baik. Mba Bakso, Mba Tutut dan Pak Marcel, serta kawan-kawan lain. 

Andai Tuhan tak ada, saya tak akan setegar ini. Saya yakin itu. 

Tuhan itu Maha Besar. Dia tak butuh manusia dengan kebesaran Nya itu, kitalah yang butuh Dia. Sama halnya saya, saya butuh Tuhan. Sahabat yang selalu menjadi pendengar terbaik dalam hidup saya. Sahabat yang selalu beri saya jalan keluar di tengah himpitan ribuan masalah. 

Jadi inilah alasan saya untuk berhijab. Mencoba selalu dekat dengan Sahabat saya. Kalau bisa, saat pulang kepada Nya nanti, saya bisa berada di sisi terdekat dengan Nya. Meski saya tak pernah melihat Nya, saya mencintai Allah Ta'ala.  

Buat siapapun, jangan hinakan orang yang membuat langkah baik dalam hidupnya. Mungkin dia baru menemukan kebaikan, yang kadang kita sendiri tak menemukannya dalam hidup kita. Dan jangan hinakan orang yang baru mengenal kebaikan ketika Anda sudah merasa hebat, karena itu sebuah kesombongan. Tuhan itu membenci sombong! 



Cerita dari perempuan bodoh soal agama

Tya Marenka

















Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bumi Itu Bentuknya Jajaran Genjang! (Sebuah cerita segar)

"Bumi itu datar!" katanya dengan mantap. Kami semua terdiam. Saling menatap mendengar pernyataannya. Sedangkan gw membenamkan wajah di balik  layar komputer. Menahan ketawa agar tidak pecah. Gw terkejut. Itu pasti. Ternyata ada beberapa orang yang gw kenal meyakini betul bumi itu datar. "Ada penjelasannya ga bumi itu datar? Karena selama ini gw taunya bumi itu bulat," cetus seorang kawan dengan wajah yang coba diperlihatkan serius. "Ini semua dasarnya karena keyakinan gw. Dari pelajaran yang gw peroleh ya seperti itu," tegas dia. Kami masih terpaku dengan jawabannya. Bukan terpukau tapi merasa aneh dan mulai tergelitik untuk menanyakan lebih jauh dasar keyakinannya itu. "Ada ceritanya dari balik keyakinan lo itu," tanya seorang kawan lagi. "Jadi gini, dulu ada seorang yang berjalan sampai ujung bumi. Mentok di kutub dan ga bisa lagi. Itu ujung bumi," terang dia. "Ujung bumi itu di kutub?," cetus gw. "Iya dari situ orang...

Ini Kisah Maria Londa, dalam Wawancara Desember 2013

Maria Londa Tidak Suka Berlari Tak berhenti berharap dan berdoa menjadi modal Maria Natalia Londa memperbaiki prestasi di pentas SEA Games. Maria Natalia Londa tak pernah berpikir menekuni dunia atletik, terutama lompat jangkit dan lompat jauh. Maria kecil hanya suka menyaksikan I Ketut Pageh berlatih bersama anak asuhnya di sebuah lapangan di Denpasar, Bali. Sering bertemu itu, I Ketut Pageh mulai membujuk rayu Maria untuk menekuni dunia atletik. Sekali lagi, ketertarikan itu belum terlintas dipikiran Maria. Namun, pelatih yang sudah malang melintang di dunia atletik itu tidak menyerah. Rayuan kembali dia layangkan untuk Maria. Dan, Maria pun luluh. Aksi coba-coba dilakukan Maria. Anehnya, terjun di dunia atletik, Maria tidak suka berlari, karenanya dia tidak berminat menjadi atlet nomor lari. Dia pun mulai melirik nomor lompat. “Satu hal yang membuat saya lebih memilih nomor lompatan, karena saya tidak suka berlari,” kata Maria membuka rahasia kecilnya saat berbincang deng...

AirAsia aircraft flight QZ8501 HAVE FOUNDED

Indonesian National Save and Rescue (SAR) have founded AirAsia flight QZ8501 plane in Karimata straits, Pangkalan Bun, Middle Borneo. They founded six dead bodies and emergency exit a plane.  "The location was 15-20 km to the east at the last point AirAsia detected in Karimata Strait , " explained Pangkoops I Marsma Dwi Putranto in Pangkalan Bun , Tuesday ( 12/30/2014 ). Based on the location , area of ​​sightings of these objects were around Gulf Air Hitam . The appearance of objects suspected of objects belonging to AirAsia plane QZ8510 occurred around 11:00 , after approximately five hours for aircraft conducting searches inland , coastal , and ocean in the southern part of Borneo island. Dirops Basarnas Supriyadi, who ensuring body, told reporter in Pangkalan Bun, he watch three body floating in the sea. Supriyadi together members helicopter ride to check the floating body reportedly based on reports CN235 aircraft are photographing objects suspected...