Untuk soal makanan, sebaiknya pilihlah makanan-makanan yang disajikan di hotel atau tempat-tempat makan seperti food court.
Wisata religi di Myanmar memang terasa memuaskan. Sayangnya, kepuasan tersebut tidak dilengkapi dengan sajian kuliner khas negeri tersebut. Apa pasal? Selain menu-menu makanannya tidak familiar bagi lidah masyarakat Indonesia, kebersihan makanan ala kaki lima di sana kurang terjamin. Dibandingkan dengan aneka jajanan pinggir jalan di kota-kota di Indonesia, semisal Jakarta, tentunya masih jauh lebih bersih dan berselera.
Rendra, pria asal Jawa Timur, menceritakan pengalamannya ketika menyantap hidangan di kaki lima Kota Yangon. Awalnya dia menyantap mi dan nasi khas Yangon dengan lahap. Baru tiga suap dia menyantap hidangan tersebut, penjaga warung memberinya segelas teh China yang beraroma pandan. “Saya sempat meneguk dua-tiga kali air tehnya, tapi saya langsung berhenti,”ucap Rendra.
Bukan tanpa sebab Rendra memilih melakukan hal itu. Pasalnya, si pemilik warung menyediakan air teh di dalam baskom besar dan gelas-gelas yang sudah dipakai minum para pembeli langsung diceburkan ke dalam baskom berisi teh tersebut. Artinya, gelas-gelas yang disodorkan kepada pembeli tidak dicuci dahulu, melainkan bekas dipakai pembeli lainnya. “Sejak itu, saya lebih memilih minuman kemasan,”tuturnya sambil tertawa lebar.
Pengalaman serupa dialami sendiri Koran Jakarta ketika berniat makan siang di Kota Nay Pyi Taw. Bersama beberapa rekan jurnalis lainnya saat meliput SEA Games XVII 2103, Koran Jakarta mencoba mencari makanan khas daerah itu. Kebetulan warung makanan yang dituju jauh dari pusat kota. Ketika sampai di tujuan dan memesan makanan, alangkah kagetnya melihat nasi yang akan disuguhkan kepada para pembeli diletakkan di dalam boks yang biasa digunakan nelayan untuk menaruh ikan dan es. Lebih mengagetkan, nasi diberikan dengan tangan, bukan dengan centong nasi. Alhasil, selera makan pun lenyap seketika, apalagi ketika si penjual meludah karena tengah menyirih.
Beberapa pengalaman itu setidaknya bisa menjadi gambaran betapa tidak higienisnya jajanan-jajanan kaki lima di Myanmar. Karena itu, jika Anda ingin mencoba bertualang ke Myanmar, untuk soal makanan, sebaiknya pilihlah makanan-makanan yang disajikan di hotel atau tempat-tempat makan seperti food court.
Higienitas makanan yang rendah di Yangon dan Nay Pyi Taw bisa dibilang berkaitan dengan masih terbelakangnya kedua kota itu. Memang, jika dibanding dengan kota-kota besar di Asia Tenggara, seperti Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, dan Jakarta, Yangon dan Nay Pyi Taw yang kini menjadi ibu kota Myanmar masih jauh tertinggal. Bahkan, banyak yang menyebut Yangon tak ubahnya Jakarta pada era 1980-an.
Wajah kota itu tampak seperti Jakarta tempo dulu. Selain masih ada bangunan-bangunan tua, baik yang terawat maupun dan tidak terawat, kondisi jalanan semrawut. Dalam hal kemacetan lalu lintas, sebenarnya Yangon dan Jakarta tidak berbeda jauh. Hal yang membedakan adalah sikap dan perilaku para pengendara. Di Yangon, para pengendara jarang mengerem kendaraan, melainkan membunyikan klakson sekeras-kerasnya. Selain kondisi jalan raya yang semrawut, kendaraan umum seperti bus masih jadul. Ada beberapa bus yang mirip dengan bus yang pernah digunakan di Jakarta sekitar 30 tahun lalu. Begitu pula halnya dengan kereta, bisa dikatakan kereta ekonomi jurusan Rangkasbitung, Banten-Jakarta masih jauh lebih baik dibanding dengan kereta di Myanmar. Semakin memprihatinkan lagi jika melihat kondisi stasiun yang tidak layak.
Meski masih banyak hal yang harus dibenahi di Myanmar, tingkat keamanan di negeri itu patut diacungi jempol. Babu K Malvie, seorang pengusaha India, mengakui masyarakat Myanmar sangat jujur. “Tingkat kriminalitas di Myanmar mungkin hanya 5 persen. Masyarakatnya sangat baik, dan saya yakin ke depannya mereka maju jika ada harmonisasi dari semua pihak,” terang Babu yang berkunjung ke Yangon dua bulan sekali.
Pernyataan Malvie memang bukan cuma isapan jempol. Alma, seorang wartawan televisi swasta dari Indonesia, merasakan betul kejujuran warga Myanmar. Dia mendapatkan kembali dompetnya yang hilang dalam kondisi utuh. Dompet tersebut ditemukan kemudian dikembalikan oleh seorang sopir taksi ke hotel tempat Alma menginap. Ada pula jurnalis lainnya yang pernah ketinggalan laptop dan tas di area stadion, tetapi kedua barang itu kembali ke tangannya dalam kondisi utuh. Hal yang sama pernah dialami staf kedutaan Indonesia di Yangon. Telepon genggamnya yang tertinggal dikembalikan pengemudi dengan menelepon nomor yang terdapat dalam telepon.
Perjalananku....
Wisata religi di Myanmar memang terasa memuaskan. Sayangnya, kepuasan tersebut tidak dilengkapi dengan sajian kuliner khas negeri tersebut. Apa pasal? Selain menu-menu makanannya tidak familiar bagi lidah masyarakat Indonesia, kebersihan makanan ala kaki lima di sana kurang terjamin. Dibandingkan dengan aneka jajanan pinggir jalan di kota-kota di Indonesia, semisal Jakarta, tentunya masih jauh lebih bersih dan berselera.
Rendra, pria asal Jawa Timur, menceritakan pengalamannya ketika menyantap hidangan di kaki lima Kota Yangon. Awalnya dia menyantap mi dan nasi khas Yangon dengan lahap. Baru tiga suap dia menyantap hidangan tersebut, penjaga warung memberinya segelas teh China yang beraroma pandan. “Saya sempat meneguk dua-tiga kali air tehnya, tapi saya langsung berhenti,”ucap Rendra.
Bukan tanpa sebab Rendra memilih melakukan hal itu. Pasalnya, si pemilik warung menyediakan air teh di dalam baskom besar dan gelas-gelas yang sudah dipakai minum para pembeli langsung diceburkan ke dalam baskom berisi teh tersebut. Artinya, gelas-gelas yang disodorkan kepada pembeli tidak dicuci dahulu, melainkan bekas dipakai pembeli lainnya. “Sejak itu, saya lebih memilih minuman kemasan,”tuturnya sambil tertawa lebar.
Pengalaman serupa dialami sendiri Koran Jakarta ketika berniat makan siang di Kota Nay Pyi Taw. Bersama beberapa rekan jurnalis lainnya saat meliput SEA Games XVII 2103, Koran Jakarta mencoba mencari makanan khas daerah itu. Kebetulan warung makanan yang dituju jauh dari pusat kota. Ketika sampai di tujuan dan memesan makanan, alangkah kagetnya melihat nasi yang akan disuguhkan kepada para pembeli diletakkan di dalam boks yang biasa digunakan nelayan untuk menaruh ikan dan es. Lebih mengagetkan, nasi diberikan dengan tangan, bukan dengan centong nasi. Alhasil, selera makan pun lenyap seketika, apalagi ketika si penjual meludah karena tengah menyirih.
Beberapa pengalaman itu setidaknya bisa menjadi gambaran betapa tidak higienisnya jajanan-jajanan kaki lima di Myanmar. Karena itu, jika Anda ingin mencoba bertualang ke Myanmar, untuk soal makanan, sebaiknya pilihlah makanan-makanan yang disajikan di hotel atau tempat-tempat makan seperti food court.
Higienitas makanan yang rendah di Yangon dan Nay Pyi Taw bisa dibilang berkaitan dengan masih terbelakangnya kedua kota itu. Memang, jika dibanding dengan kota-kota besar di Asia Tenggara, seperti Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, dan Jakarta, Yangon dan Nay Pyi Taw yang kini menjadi ibu kota Myanmar masih jauh tertinggal. Bahkan, banyak yang menyebut Yangon tak ubahnya Jakarta pada era 1980-an.
Wajah kota itu tampak seperti Jakarta tempo dulu. Selain masih ada bangunan-bangunan tua, baik yang terawat maupun dan tidak terawat, kondisi jalanan semrawut. Dalam hal kemacetan lalu lintas, sebenarnya Yangon dan Jakarta tidak berbeda jauh. Hal yang membedakan adalah sikap dan perilaku para pengendara. Di Yangon, para pengendara jarang mengerem kendaraan, melainkan membunyikan klakson sekeras-kerasnya. Selain kondisi jalan raya yang semrawut, kendaraan umum seperti bus masih jadul. Ada beberapa bus yang mirip dengan bus yang pernah digunakan di Jakarta sekitar 30 tahun lalu. Begitu pula halnya dengan kereta, bisa dikatakan kereta ekonomi jurusan Rangkasbitung, Banten-Jakarta masih jauh lebih baik dibanding dengan kereta di Myanmar. Semakin memprihatinkan lagi jika melihat kondisi stasiun yang tidak layak.
Meski masih banyak hal yang harus dibenahi di Myanmar, tingkat keamanan di negeri itu patut diacungi jempol. Babu K Malvie, seorang pengusaha India, mengakui masyarakat Myanmar sangat jujur. “Tingkat kriminalitas di Myanmar mungkin hanya 5 persen. Masyarakatnya sangat baik, dan saya yakin ke depannya mereka maju jika ada harmonisasi dari semua pihak,” terang Babu yang berkunjung ke Yangon dua bulan sekali.
Pernyataan Malvie memang bukan cuma isapan jempol. Alma, seorang wartawan televisi swasta dari Indonesia, merasakan betul kejujuran warga Myanmar. Dia mendapatkan kembali dompetnya yang hilang dalam kondisi utuh. Dompet tersebut ditemukan kemudian dikembalikan oleh seorang sopir taksi ke hotel tempat Alma menginap. Ada pula jurnalis lainnya yang pernah ketinggalan laptop dan tas di area stadion, tetapi kedua barang itu kembali ke tangannya dalam kondisi utuh. Hal yang sama pernah dialami staf kedutaan Indonesia di Yangon. Telepon genggamnya yang tertinggal dikembalikan pengemudi dengan menelepon nomor yang terdapat dalam telepon.
Perjalananku....
Komentar
Posting Komentar