Jarum jam
sudah menunjukkan lebih dari pukul 02.00 pagi di tanggal 21 Juni 2013. Waktu
yang memaksa tubuh harus segera beristirahat demi bisa mencapai kantor lebih
cepat.
Ya, hari aku ini wajib berada di kantor lebih cepat untuk
menuntaskan tugas. Sebab malam, tepatnya pukul 18.55, kami harus melaju
meninggalkan Jakarta. Tapi mata seperti biasa, tidak bisa
diajak kompromi untuk terpejam lebih cepat.
Oooo tapi ada
yang terlupa. Belum packing.
Buru-buru aku ambil ransel merah di pojok sebelah kanan lemari. Satu persatu
baju, celana, dan teman-temannya aku rapihkan di dalam ransel. Rapih...
Niat bangun
pagi kesampaian. Kalau ada yang baca ini, pasti berpikir aku pelor yang selalu
bangun siang. Tebakannya tidak salah tapi juga tidak benar. Artinya apa? Tebak
sendiri. (Jangan pake senyum)
Jam 14.00
siang aku sudah berada di kantor. Marcel dan Widi, dua rekan kerja yang usianya
jauh lebih tua dariku, mungkin sepuluh atau mungkin lebih dari dua puluh tahun
jaraknya, sudah duduk manis di mejanya. Aku memanggil mereka dengan kata depan,
bapak.
“Selamat sore
bapak-bapak,” kataku menyapa mereka dengan senyum khasku.
“Wih, sudah
datang,” jawab Widi.
Tak
berlama-lama dan tak seperti biasa, aku langsung mengambil laptop di dalam
loker. Setelah menyala, aku langsung menyisir internet untuk mencari
berita-berita yang menjadi konsumsiku untuk Koran Jakarta, besok pagi. Dua
tugas sudah aku selesaikan, ketika waktu rapat sudah datang.
Singkat
cerita, aku tuntas mengerjakan tugasku, ketika jarum jam bergulir ke angka
17.00. Setelah berbagi tugas dengan Dhany R Bagja, bosku di desk olahraga,
laptop pun aku tutup. Tinggal menunggu kawan-kawanku.
Dini Daniswari,
Haryo Bruno, dan Agung Wredho, mereka teman seperjalananku. (Siapa aku? Liat
blog ya). Kami yang akan pergi menuju Yogyakarta lalu ke Solo, untuk menghadiri pernikahan rekan kami
juga, Bram Selo dengan pujaan hatinya Agatha.
Tapi ada yang
terlupa. Buku…ini alat ajaib untuk mengisi waktu senggang di atas kereta dan
dalam perjalanan ini. Ehmm…tapi lupa aku bawa. Untungnya, pak Marcel memberi
solusi dengan dua buku yang disimpannya di loker.
“Aku punya Ya.
Kamu mau pinjem,” katanya menawarkan.
“Boleh pak.”
Bukan tak
tertarik dengan buku-buku yang ditawarkan. Tapi dua buku tentang manusia dan
kemanusiaan itu terlalu kentara dalam sudut pandang agama. Ada pertentangan agama antara buku dan
KTPku. Lagipula pasti akan terasa berat jika harus berpikir pada hal-hal yang
aku tidak tahu.
Dengan halus
aku menolaknya, “Maaf pak, bukan menolak. Aku takut bingung bacanya. Aku
inginnya baca novel yang ringan.”
“Coba ke
Ginting aja,” pak Widi menimpali pembicaraan kami.
Tanpa pikir
panjang aku naik ke lantai tiga, tempat Juni Ginting, nama lengkapnya. Tapi di
tempat Litbang Juni tak sendiri, di sana ada Ami, Artha dan rekannya, serta
Nani yang juga bekerja di ruangan tersebut.
“Jun, boleh
pinjam novel?” tanyaku.
“Boleh.”
“Ada yang bagus ga?”
Juni membuka
lemari buku. “Coba aja lihat. Ini ada beberapa?”
“Mana yang
bagus?” tanyaku lagi.
Dia
menunjukkan Sarongge dan buku lainnya yang ditulis novelis Indonesia.
Tapi aku tak
tertarik.
“Ada yang lain gak?” kataku berharap.
“Nih, ada.” Dia menunjukkan buku
bersampul hijau berjudul “All She Ever Wanted, karya Patrick Redmond.
“Ya udah gw pinjam ini ya.” Juni
mengangguk sambil langsung mengetik di komputernya.
Sambil
menunggu Juni, ada yang didiskusikan tim radikal, begitu Bruno memberi julukan
kami. Diskusi para perempuan, yang tak lain soal pria. Siapa dia?
(Pertanyaannya tidak bisa diungkapkan di tulisan ini…skippp).
Bruno datang
menghampiri kami. Dia ikut nimbrung dalam cerita-cerita kami. Orang satu ini
memiliki seribu cara untuk membuat situasi makin ramai. Ocehannya, tingkahnya,
bikin tambah makin lucu.
Waktu sudah
menunjukkan pukul 18.00 saat aku dan Bruno turun. Jadwal berangkat dari kantor
sedikit terlambat. Tapi kami yakin sampai Stasiun Senen tepat waktu.
Mencari
kendaraan menuju stasiun fokus kami utama. Awalnya mobil kantor bisa menjadi
solusi, tapi sepertinya tidak mungkin dengan kondisi mobil yang terjepit motor.
Taksi atau
bajaj bisa menjadi pilihan. Taksi menjadi pilihan pertama, karena lajunya pasti
lebih cepat. Kita sudah memberhentikan satu taksi, kami bertiga buru-buru naik.
Tapi menyebalkan, supir taksi tak mau mengangkut kami ke stasiun. Kami kembali
turun, dan karena terhenti, taksi membuat laju mobil di belakangnya terhalang.
Tak mau ambil
resiko, Dini sigap memberhentikan bajaj. Tawar menawar dan memutuskan angka 20
ribu rupiah untuk menuju stasiun Senen.
Baru 100 meter
berjalan, bajaj yang kami tumpangi terhalang taksi Mercedes yang berantem
dengan pengendara motor. Adu mulut mereka membuat waktu kami terus tersita.
Kami mulai cemas. Supir bajar memutar otak agar kendaraannya bisa melewati
impitan mobil buatan Jerman tersebut dan berhasil.
Tapi itu tidak
mengurangi kecemasan. Lampu merah jalan Sabang dan lampu di belokkan Kebon
Sirih membuat kita tertahan beberapa menit. Kami mulai melihat jam dan
menunjukkan pukul 18.21 WIB. Kira-kira 30 menit lagi, kami harus sampai stasiun
jika tidak maka musnah tiket yang sudah kami beli tiga minggu lalu.
Kami berniat
naik ojek jika saja kembali tertahan di sudut jalan lain. “Kita tidak usah
turun di Stasiun Gondangdia, tapi cari ojek terdekat aja,” usul Bruno.
Bajaj terus
berjalan menyusuri jalan-jalan tikus yang tidak akan terjamah kendaraan sebesar
taksi, untuk menghindari macet. Tapi laju bajaj sedikit terhambat dengan berat
badan kami bertiga, 70 kg + 70 kg + 80 kg, kira-kira seperti itu hitungan Bruno
dengan tubuh kami. (Emmm…liat timbangan dan Bruno sedikit meleset).
Beruntung kami
berhasil sampai di depan Stasiun Senen, hanya kurang dari 10 menit menjelang
keberangkatan. Saat di depan pintu utama, Agung ternyata sudah menunggu kami.
Kami
benar-benar beruntung! Bajaj tua itu berhasil membawa kami ke stasiun tepat
waktu, karena kereta berangkat sesuai dengan yang tercantum dalam tiket, 18.55.
*******
Kursi sudah
sesuai dengan kesepakatan. Aku duduk disamping Dini, dan Agung bersama Bruno.
Perjalanan
dimulai. Kami meninggalkan Jakarta yang masih asik dengan kemacetannya.
Kami akan membelah malam dengan ular besi ini, kereta Bogowonto menuju Stasiun
Tugu di kota Yogyakarta.
Tak banyak
yang dibicarakan saat mengawali perjalanan. Tapi satu hal yang membuatku
kecewa, penerangan minim dipojok kursi tempatku, menggagalkanku membaca buku
pinjaman dari Juni.
Bruno
mengawali setiap pembicaraan. Banyak yang dibicarakan. Aku sampai tak hafal
untuk menulisnya di dalam sini. (Maaf ya Bruno…jangan marah…hehehe).
Sekali-kali
Agung menimpali, Dini dan juga aku. Mungkin aku salah satu yang cerewet di
sini. Melempar isu dan segala hal menyangkut pekerjaan, masa depan, dan
lain-lain.
Waktu beranjak
malam, suara-suara perut keroncongan mulai terdengar, terutama dari Bruno. Dia
ternyata tak sempat makan malam. Alhasil, semua makanan yang dibawa Dini, dia
konsumsi. Dia juga tak lupa membeli penganan pisang rebus saat berhenti di
sebuah stasiun (lupa namanya) serta tes manis hangat.
Agung tampak
tak kuat menahan kantuk, beberapa kali dia tertidur sambil menyandarkan
kepalanya. Mungkin karena batuknya yang membuat dia harus istirahat cepat.
Sedangkan Bruno, aku dan Dini tetap mengoceh.
Namun sesekali
kami berusaha memejamkan mata. Sayangnya, kursi yang terlalu tegak, seperti
tegaknya tentara saat baris-berbaris, itu perumpamaan yang diberikan Bruno,
membuat aku tak bisa tidur.
Sampai
akhirnya aku mengambil earphone untuk
mendengarkan musik. Lagu Avril Lavigne, The Corrs, Creed, Maroon 5, Hivi3
hingga lainnya mengalun. Lagi-lagi usahaku gagal untuk tertidur dengan alunan
musik. Meski sempat aku merasa dalam hitungan menit benar-benar tertidur.
Posisi dudukku
juga terus berubah. Tak hanya menghadap ke depan, ke arah Agung. Tapi juga
hadap kanan, kiri (seperti tentara ya), agar bisa mendapat posisi nyaman, demi
tidur. Dengan kakiku yang tak terlalu panjang (gak pede bilang pendek J), rasanya ingin selonjor kaki ke arah ujung kursi Agung. Aku
tidak suka menggantung kaki. Bikin pegal-pegal.
Awalnya aku
tak berani menyelipkan dua ujung kaki kalau mendengar cerita kawan-kawan ini.
Syariah, itu julukan Bruno untuk Agung. Emmm…artinya…jagalah diri…(plesetan Aa
Gym, jagalah hati)…Makanya pas Agung ke kamar mandi, aku buru-buru menaruh dua
telapak kakiku di kursinya. Rasanya legaaa…tapi saat aku datang, aku buru-buru
menariknya. Dini juga melakukan hal serupa.
Tapi karena
tak lagi tahan kakiku, pas Agung memejamkan mata, aku mencoba menyelipkan kedua
telapak kaki di ujung kursinya, tanpa menyentuh sedikitpun kakinya. Dia tak
bereaksi, berarti diperbolehkan.
Satu hal dalam
perbincangan kita berempat, aku harus menyatakan seringkali terjadi roaming. Bahasa Jawa menjadi dialek asik
bagi mereka bertiga, sedangkan aku hanya mengerti satu bahasa, Bahasa Indonesia.
(Ini bukan rasis, murni tidak mengerti). Solusi paling ampuh mendengarkan
musik.
Setelah
berjam-jam, dan waktu sudah melewati lebih dari pukul 03.00 pagi WIB di hari
Sabtu (22/6), kereta Bogowonto memasuki stasiun Tugu. Tempat pemberhentian terakhir
kereta tersebut. Kami sudah siap turun.
Mata kami
masih mengantuk saat menginjakkan kaki di Yogyakarta. Tapi denyut kota berjuluk “The Student of City” sudah
terjadi. Banyak orang sudah berada di stasiun, entah itu penumpang ataupun pedagang. Mereka berkumpul di setiap
selasar yang sudah disediakan.
Kami mencari
tempat menunggu dan pilihan kami pada bangunan utama stasiun dengan sentuhan
tradisi rumah joglo di dalamnya. Ya,
dalam perjalanan ini kami masih menunggu satu teman lagi, Henry Agrahadi, atau
lebih dikenal Lendir. Kereta yang dia tumpangi jauh di belakang kami.
“Dia naik Aryo
Dwipangga, kita tunggu aja,” ujar Dini menerangkan.
Karena lapar,
mata Bruno langsung nanar menatap gerobak makanan gudeg. Dia langsung mendekati
dengan mengikuti saran Dini, menanyakan harga. “Harganya 10 ribu,” kata ibu
penjual dengan bahasa Jawa.
Tanpa ragu,
Bruno langsung meminta satu piring nasi gudeg. “Aku lapar, aku kan tidak makan malam,” Bruno
menerangkan.
Sambil
menunggu satu per satu di antara kami menuju kamar mandi dan mushala. Shalat
Subuh. Sekaligus menghirup udara pagi yang terasa melonggarkan paru-paru.
Tapi Henry
belum juga menampakkan hidungnya meski dua kereta sudah lewat, Aryodwipangga
dan Taksaka. Ternyata usut punya usut, Henry naik kereta Senja Utama Solo. Disaat
menunggu ini, perutku mulai berbunyi…krukkkk…krukkkk…
Mengikuti
jejak Bruno, aku membeli nasi gudeg. Dengan sayur gudeg lengkap dengan telur
dan krecek, rasa lapar langsung hilang.
Tak berselang
lama, Henry muncul dan Bruno langsung menjemputnya. Kami pun bergegas menuju
rumah Dini, sebagai tempat pertama yang akan kami kunjungi.
Komentar
Posting Komentar