Ramadan kembali datang....ya, saat semua orang meributkan tanggal 1 Ramadan...aku memulai tahun 2012 atau 1433 hijriyah di hari keempat...alhamdulilah hari ini terlewati dengan mulus....
Dimulai dari sahur bersama mak dan bapakku, dengan hidangan sederhana, hingga berbuka puasa di kantorku, Koran Jakarta.
Tak ada yang beda dari tahun ke tahun, semua adalah rutinitas sama. Yang membedakannya, tentu saja keinginanku menjelajah sudut sunyi di Rumah Tuhan. Dari satu masjid ke masjid lain, aku mencoba berpetualang, melihat kesibukan di setiap orang saat hanya duduk terpaku atau tafakur untuk merenungi kebesaranmu...Ya Rabb. Atau di sudut lainnya, ketika ada yang mengumandangkan ayat-ayat Al Quran.
Sudut sunyi di antara pilar-pilar raksasa di rumah yang megah itu, aku selalu menyukainya. Tuhan seolah menyentuhku jika duduk di antara pilar-pilar megah itu. Saat sekadar hanya duduk merenungi kebesaran MU...angin sejuk semilir keluar dari lubang-lubang dari sisi kanan dan kiri, serta sudut atas....
Di tempat yang di depannya berdiri kokoh gereja katedral, aku selalu bertemu bapak setengah baya yang tak memiliki kaki. Dia duduk di salah satu pilar di bagian paling depan rumah MU...menunggu belas kasih dan sedekah orang....
Di sudut lainnya, ibu-ibu tua...duduk di antara shaf para wanita. Dengan nada lembut, dia menawarkan mukena-mukena dengan baik hati. Tanpa harus membalas, kecuali keridhoan dari setiap orang yang meminjamnya.
Tak jauh dari rumah megah itu, rumah Tuhan lainnya terasa sangat sejuk. Meski derit ular besi kerap kali terdengar, namun kekhusyuan akan terjaga jika kau berada di dalamnya. Hamparan karpet hijau yang cukup tebal terasa hangat dengan desiran angin semilir yang keluar dari langit-langit jendela kecil di atasnya.
Kadang aku bertemu wanita-wanita berhijab dengan sikap rendah hati. Ketika bertemu salah satunya, kadang aku teringat dengan Feny Ludin. Kawan karibku waktu SMA dulu. Dia orang yang memiliki segalanya, pintar, cantik, kaya dan cerdas, lebih hebat dia berhijab dan tahu banyak soal agama.
Jika mengingat wanita berhijab, aku berharap selalu bertemu orang seperti Feny. Dia tahu soal agama, tapi tidak merendahkan kawan yang buta akan itu. Dia memberi contoh, hingga menariknya mengenal agama secara dekat. Aku salah satunya, yang belajar banyak soal agama dan segala hal tentang dunia.
Kembali dalam lamunanku. Aku berharap satu hari ingin seperti mereka wanita-wanita berhijab. Tapi, aku ingin ketika memakainya karena panggilan Tuhan. Bukan karena keren-kerenan, atau hanya sekedar menutup kekurangan agar terlihat lebih cantik, atau menutupi kekurangan sebagai perempuan.
Ya, seperti Fenny. Dia memiliki segalanya, tapi di antara hijabnya, dia memberi pandangan, dia bukan apa-apa di mata Tuhan. Salut buat kawanku Fenny, entah dimana kini kamu berada.
Tuhan, sebenarnya begitu dekat denganku. Mas Reswit Kurniawan. Usianya lebih muda dari aku, tapi karena kedewasaannya dan ketaatannya dalam agama, aku lebih menganggap lebih tua dari aku. Apalagi jika bicara nasehat.
Hampir satu tahun aku tak bersua dia. Kecuali telpon yang terbilang jarang. Terakhir kontak, dia menanyakan hubunganku dengannya. Maaf mas, aku mengecewakanmu lagi. Seperti harapanmu, agar aku cepat menikah belum bisa terwujud. Mungkin jika aku rutin kontak denganmu semua ini tak terjadi mas. Tapi, penyesalan adalah sebuah kesia-sian.
Kadang saat aku berada di rumah NYA, aku ingin benar-benar mengabdi pada Tuhan. Karena Dia tak akan mengkhianati, tak akan mencampakkan. Dia setia mendampingi, bahkan hingga ke napasku. Tapi, aku tahu Tuhan memberiku jalan karena ada tujuan.
Sudut rumah Tuhan selalu menyejukkan. Hatiku dan ketentramanku. Meski duduk sendiri di antara pilar-pilar raksasa atau berada di samping jendela besar menghadap ke jalan raya pemukiman para pejabat, aku merasa tak sendiri. Tubuhku seperti dipeluk, tanganku seperti digenggam begitu erat, sehingga aku merasa tak ingin beranjak.
Puasa baru aku lewati satu hari. Aku juga mulai kangen dengan rumah Tuhan di tepi jalan tengah kota. Sudut yang selalu aku sukai, karena aku seperti bernapas bebas di tempat itu. Tak jauh dari rumah itu, sebenarnya banyak teman-temanku. Tapi, tahukah, di rumah itu tak ada satupun yang aku kenal. Tapi, mereka semua baik. Kami seperti saudara, saling menegur dan saling menyapa.
Ibu tua itu selalu duduk di perlintasan jalan, tempat membasuh wajah. Puasa kali ini aku belum bertemu. Nenek, mungkin sepatutnya aku memanggil dia seperti itu. Wajahnya tirus karena usia, walau tubuhnya sedikit gempal. Tahun lalu, dia sempat menyapaku dengan malu-malu, karena dia sedang mengunyah makanan, meski maghrib belum tiba. “Ibu lagi sakit, maaf ya neng, saya makan,” cetusnya ketika itu.
Dengan senyuman aku menjawab. Dalam hati, tak perlu alasan apapun bu. Tuhan tidak buta dan tidak tuli dengan apa yang kita lakukan. Orang tua atau orang sakit tak diwajibkan berpuasa.
Seperti rumah Tuhan lainnya, semua sama dihadapan Nya. Di rumah beratap biru itu juga sama. Jika kau berjalan ke atas, kau harus sedikit meringis jika belum terbiasa. Di tangga, ada pelapis anti licin, yang kalau diinjak cukup sakit, seperti sandal bakiak terapi. Tapi, jika kau berada di dalammnya…emmmm….menyenangkan….semua jadi tenang….
Puasa pertama, aku menemukan rumah Tuhan yang baru. Tepat di belakang kantorku. Hanya lima menit berjalan kaki. Dibandingkan yang lain, ini lebih kecil. Tapi, hamparan karpet berwarna hijau serta tulisan arab dan keramahan warga, memberiku kedamaian. Tempat baru, yang bisa aku jadikan tempat memegang tangan Tuhan saat aku terjebak dalam kepenatan kerja.
Tugasku belum selesai. Aku ingin mencari lagi tiap sudut rumah Tuhan, yang selalu membuatku tenang….
Tya Marenka
Dimulai dari sahur bersama mak dan bapakku, dengan hidangan sederhana, hingga berbuka puasa di kantorku, Koran Jakarta.
Tak ada yang beda dari tahun ke tahun, semua adalah rutinitas sama. Yang membedakannya, tentu saja keinginanku menjelajah sudut sunyi di Rumah Tuhan. Dari satu masjid ke masjid lain, aku mencoba berpetualang, melihat kesibukan di setiap orang saat hanya duduk terpaku atau tafakur untuk merenungi kebesaranmu...Ya Rabb. Atau di sudut lainnya, ketika ada yang mengumandangkan ayat-ayat Al Quran.
Sudut sunyi di antara pilar-pilar raksasa di rumah yang megah itu, aku selalu menyukainya. Tuhan seolah menyentuhku jika duduk di antara pilar-pilar megah itu. Saat sekadar hanya duduk merenungi kebesaran MU...angin sejuk semilir keluar dari lubang-lubang dari sisi kanan dan kiri, serta sudut atas....
Di tempat yang di depannya berdiri kokoh gereja katedral, aku selalu bertemu bapak setengah baya yang tak memiliki kaki. Dia duduk di salah satu pilar di bagian paling depan rumah MU...menunggu belas kasih dan sedekah orang....
Di sudut lainnya, ibu-ibu tua...duduk di antara shaf para wanita. Dengan nada lembut, dia menawarkan mukena-mukena dengan baik hati. Tanpa harus membalas, kecuali keridhoan dari setiap orang yang meminjamnya.
Tak jauh dari rumah megah itu, rumah Tuhan lainnya terasa sangat sejuk. Meski derit ular besi kerap kali terdengar, namun kekhusyuan akan terjaga jika kau berada di dalamnya. Hamparan karpet hijau yang cukup tebal terasa hangat dengan desiran angin semilir yang keluar dari langit-langit jendela kecil di atasnya.
Kadang aku bertemu wanita-wanita berhijab dengan sikap rendah hati. Ketika bertemu salah satunya, kadang aku teringat dengan Feny Ludin. Kawan karibku waktu SMA dulu. Dia orang yang memiliki segalanya, pintar, cantik, kaya dan cerdas, lebih hebat dia berhijab dan tahu banyak soal agama.
Jika mengingat wanita berhijab, aku berharap selalu bertemu orang seperti Feny. Dia tahu soal agama, tapi tidak merendahkan kawan yang buta akan itu. Dia memberi contoh, hingga menariknya mengenal agama secara dekat. Aku salah satunya, yang belajar banyak soal agama dan segala hal tentang dunia.
Kembali dalam lamunanku. Aku berharap satu hari ingin seperti mereka wanita-wanita berhijab. Tapi, aku ingin ketika memakainya karena panggilan Tuhan. Bukan karena keren-kerenan, atau hanya sekedar menutup kekurangan agar terlihat lebih cantik, atau menutupi kekurangan sebagai perempuan.
Ya, seperti Fenny. Dia memiliki segalanya, tapi di antara hijabnya, dia memberi pandangan, dia bukan apa-apa di mata Tuhan. Salut buat kawanku Fenny, entah dimana kini kamu berada.
Tuhan, sebenarnya begitu dekat denganku. Mas Reswit Kurniawan. Usianya lebih muda dari aku, tapi karena kedewasaannya dan ketaatannya dalam agama, aku lebih menganggap lebih tua dari aku. Apalagi jika bicara nasehat.
Hampir satu tahun aku tak bersua dia. Kecuali telpon yang terbilang jarang. Terakhir kontak, dia menanyakan hubunganku dengannya. Maaf mas, aku mengecewakanmu lagi. Seperti harapanmu, agar aku cepat menikah belum bisa terwujud. Mungkin jika aku rutin kontak denganmu semua ini tak terjadi mas. Tapi, penyesalan adalah sebuah kesia-sian.
Kadang saat aku berada di rumah NYA, aku ingin benar-benar mengabdi pada Tuhan. Karena Dia tak akan mengkhianati, tak akan mencampakkan. Dia setia mendampingi, bahkan hingga ke napasku. Tapi, aku tahu Tuhan memberiku jalan karena ada tujuan.
Sudut rumah Tuhan selalu menyejukkan. Hatiku dan ketentramanku. Meski duduk sendiri di antara pilar-pilar raksasa atau berada di samping jendela besar menghadap ke jalan raya pemukiman para pejabat, aku merasa tak sendiri. Tubuhku seperti dipeluk, tanganku seperti digenggam begitu erat, sehingga aku merasa tak ingin beranjak.
Puasa baru aku lewati satu hari. Aku juga mulai kangen dengan rumah Tuhan di tepi jalan tengah kota. Sudut yang selalu aku sukai, karena aku seperti bernapas bebas di tempat itu. Tak jauh dari rumah itu, sebenarnya banyak teman-temanku. Tapi, tahukah, di rumah itu tak ada satupun yang aku kenal. Tapi, mereka semua baik. Kami seperti saudara, saling menegur dan saling menyapa.
Ibu tua itu selalu duduk di perlintasan jalan, tempat membasuh wajah. Puasa kali ini aku belum bertemu. Nenek, mungkin sepatutnya aku memanggil dia seperti itu. Wajahnya tirus karena usia, walau tubuhnya sedikit gempal. Tahun lalu, dia sempat menyapaku dengan malu-malu, karena dia sedang mengunyah makanan, meski maghrib belum tiba. “Ibu lagi sakit, maaf ya neng, saya makan,” cetusnya ketika itu.
Dengan senyuman aku menjawab. Dalam hati, tak perlu alasan apapun bu. Tuhan tidak buta dan tidak tuli dengan apa yang kita lakukan. Orang tua atau orang sakit tak diwajibkan berpuasa.
Seperti rumah Tuhan lainnya, semua sama dihadapan Nya. Di rumah beratap biru itu juga sama. Jika kau berjalan ke atas, kau harus sedikit meringis jika belum terbiasa. Di tangga, ada pelapis anti licin, yang kalau diinjak cukup sakit, seperti sandal bakiak terapi. Tapi, jika kau berada di dalammnya…emmmm….menyenangkan….semua jadi tenang….
Puasa pertama, aku menemukan rumah Tuhan yang baru. Tepat di belakang kantorku. Hanya lima menit berjalan kaki. Dibandingkan yang lain, ini lebih kecil. Tapi, hamparan karpet berwarna hijau serta tulisan arab dan keramahan warga, memberiku kedamaian. Tempat baru, yang bisa aku jadikan tempat memegang tangan Tuhan saat aku terjebak dalam kepenatan kerja.
Tugasku belum selesai. Aku ingin mencari lagi tiap sudut rumah Tuhan, yang selalu membuatku tenang….
Tya Marenka
Komentar
Posting Komentar