Tak ada kata menyerah bagi komunitas sepeda Lets Gowes untuk menyusuri keindahan kota di Indonesia. Setiap kota menjadi tantangan. Tak terkecuali, ketika menjelajahi kota Solo.
Terpatri dalam diri untuk merasakan keindahan kota penuh sejarah itu dengan mengayuh sepeda, menikmati setiap lekuk jalan disana. Rindangnya pepohonan di tengah kota, hingga duduk terpaku menikmati khas makanan Solo.
Tapi, tantangan mengadang, ketika hasrat ini mulai tinggi. Untuk dapat menginjakkan kaki di Solo dengan sepeda bukan hal mudah.
Namun adangan adalah sebuah tantangan. Anggota Lets Gowes mau tak mau harus memilih, kereta menjadi kendaraan untuk dapat membawa kami ke Solo.
Niat untuk menikmati Solo akhirnya terwujud. Kamis, 7 Juli 2011, kami berangkat meningalkan Jakarta. Dari stasiun Gambir, kami memulai petualangan. Beranggotakan Ian Siregar, Antonius Bramantoro, Fitri Yanti, Noor Irawan, Hadmadi, Eko Priyono, Iwan Bagus Irawan, Kukuh Setiawan, dan tentu saja Tya Marenka, saya sendiri. Para pecinta sepeda yang berprofesi sebagai jurnalis olahraga.
Kami semua berkumpul dua jam sebelum keberangkatan, pukul lima sore. Bukan karena takut ketinggalan kereta, tapi karena demi mempersiapkan diri, terutama terkait barang bawaan, tentu saja sepeda. Tak mudah untuk dapat mengangkut barang seperti ini. Salah letak, bisa berakibat fatal bagi sepeda.
Persiapan kami lakukan. Satu per satu kawan berdatangan. Iwan alias “bang Pece”, begitu kami memanggilnya datang lebih awal. Bersama sepeda yang dia namai “Si Buluk”. Dia menyandarkan sepedanya di salah satu tiang di stasiun Gambir. Bersama dua sepeda lainnya, milik saya dan Kukuh. Tak berselang lama, kawan lain mulai berdatangan, hingga semua akhirnya berkumpul.
Satu jam sebelum keberangkatan, kami pun mulai mengurus bagaimana mengepak sepeda. Kukuh salah satu anggota Lets Gowes paling muda, berinisiatif mendatang ruang informasi, jika sepeda kami bisa diangkut bersama kami.
Kami pun menyewa porter untuk mengangkutnya ke lantai tiga. Tempat lansir kereta Argo Lawu jurusan Surabaya.
Kami menunggu cukup lama saat kereta tiba. Berada di gerbong lima, kami semua mulai merapikan sepeda kami. Lagi-lagi, tantangan mengadang. Karena, sepeda berada di kereta penumpang, kami harus merapikannya dengan baik, jangan sampai jalur jalan tertutup oleh sepeda-sepeda kami. Apalagi petugas kereta juga memberikan saran agar tidak mengganggu penumpang lain. DUntunglah, dengan segala usaha, sepeda tertata rapi dan kami pun dapat duduk tenang menikmati perjalanan menuju Solo.
Hampir 12 jam perjalanan kami lalui, kami tiba di Stasiun Solo Balapan. Seperti lagu Didi Kempot, “ning stasiun balapan, kuta Solo nang jadi kenangan, kowe karo aku”. Lagu inilah yang langsung terlintas dipikiran kami.
Karena tiba dinihari, udara dingin menyambut kami. Napas seolah dimanjakan dengan udara yang begitu bersih.
Di depan stasiun ini, kami harus berbenah. Bagian-bagian sepeda yang terpisah harus kembali disatukan. Satu per satu, setiap kami merangkainya.
Bagian ini juga dilalui dengan tak mudah. Tak semua bisa merangkainya sendiri, termasuk sepeda kuning milik saya. Butuh bantuan dari Noor Irawan alis TKD, baru dapat digunakan kembali. Begitu juga, si “ABG” Eko. Dia kesulitan untuk merangkai sepeda birunya, hingga menjadi yang terakhir dapat menyelesaikan sepedanya.
Untunglah, meski udara dingin menyerang. Kami semua dapat menikmati wedang ronde milik bapak tua yang terdapat di depan stasiun.
Perjalanan Dimulai
Tuntas semua sepeda, kami mulai menyusuri jalanan Solo. Karena dua orang tak membawa sepeda dan khusus membawa logistik, TKD dan Imad memiliki tugas khusus untuk membawa barang-barang kami dengan becak.
Tujuan awal, mencari tempat menginap sementara, karena hotel tempat kami baru dapat chek in, pukul 12 siang. Sedangkan saat kami tiba, masih dinihari.
Tak jauh dari stasiun kami mendapatkan tempat beristirahat. Sekedar melepas lelah dan menaruh barang milik kami.
Karena menjelang subuh, kami semua sepakat untuk mencari sarapan. Karena diantara kami sudah mengenal Solo, maka tersebutlah nama warung gudeg ibu Kasno yang berdiri sudah puluhan tahun. Sarapan pertama dalam perjalanan kami ini gratis, sebab Imad alias Hadmadi sedang berulang tahun. Makanya, dia yang menanggung, termasuk pelanggan yang bukan rombongan kami.
Singkat cerita, menjelang siang, kami mulai menuju hotel tempat kami menginap. Tapi, tak semua. Hanya saya, Fitri dan Kukuh yang lebih dahulu pergi, sisanya memilih tidur dan berangkat sore hari.
Jarak hotel dengan tempat transit, kira-kira 10 kilometer. Tak terlalu jauh, namun karena berada di jam padat lalu lintas, kami harus sedikit berhati-hati melewati setiap jalan.
Diselingi Tugas
Sebagai jurnalis, kami datang ke Solo juga tak melulu karena sepeda. Sebagian dari kami karena harus mengerjakan tugas kantor. Alhasil, menikmati malam pertama di Solo dengan bersepeda tidak terlaksana karena beberapa jurnalis harus pergi ke kota Yogyakarta, yang berjarak kira-kira satu jam dari Solo.
Barulah, pada Sabtu, 9 Juli malam, kami semua dapat menikmati keindahan kota Solo. Dimulai dari jalan Slamet Riyadi, kami berkeliling kota Solo.
Ada kepuasaan tiada tara yang tak terhingga. Kota yang memiliki sejarah panjang perjuangan Indonesia memiliki banyak cerita tersimpan. Tertulis dari peninggalan-peninggalan yang tersimpan di kota itu. Mulai dari keraton yang masih berdiri tegak, hingga bagian-bagian lain budaya yang masih tersimpan dan masih menjadi buah bibir. Seperti Taman Sriwedari. Belum lagi, jalur kereta yang lurus memanjang membelah kota Solo.
Kebanggaan lain, mengayuh di kota ini, tentu saja karena ada jalur khusus. Walau tidak menyebut secara langsung, tapi ada beberapa bagian jalan yang memang dikhususkan untuk para pecinta sepeda. Bukti lainnya tentu saja marka jalan. Tak ada di kota yang memberikan tanda khusus para sepeda di lampu merah, selain Solo.
Tanda ini mungkin saja menjadi petunjuk, Solo merupakan kota sepeda. Setuju atau tidak, kenyataan berbicara. Tak hanya karena tumbuhnya para pecinta sepeda, tapi sejak lama sepeda menjadi alat transportasi yang paling sering digunakan, terutama para pelajar.
Wisata kuliner juga menjadi tujuan utama kami, selain bersepeda. Menikmati nasi liwet ala Solo, dan berbagai penganan lain yang terasa memanjakan lidah.
Tak hanya itu, Kampung Batik Kauman jadi tujuan. Sekadar menikmati jiwa seni para pebatik yang dengan tekun merangkai kain putih menjadi sebuah mahakarya bernama batik.
Petualangan kami di Solo mendapatkan banyak pengalaman. Petualangan kami lakukan berulang-ulang hingga hari kepulangan kami, Senin, 11 Juli 2011.
Telpon Sakti Jokowi
Ternyata untuk kembali ke Jakarta tidak lebih mudah, dibandingkan saat pergi. Pihak stasiun Solo Balapan tak mengijinkan kami untuk membawa sepeda ke dalam gerbong penumpang. Alasannya itu hanya khusus orang.
Kami pun menyadari hal itu. Namun untuk menumpuk sepeda kami di gerbong barang, mustahil adanya. Kami tahu persis, masuk gerbong barang, berarti barang siap dibanting.
Jadinya, kami menyediakan tiket lebih khusus untuk sepeda. Empat tiket kami sediakan. Sepeda pun memiliki tempat duduk sendiri.
Awalnya, tiket untuk sepeda juga tidak diterima. Namun berkat bantuan Walikota Solo Joko Widodo lewat telepon saktinya, semua berubah. Sang Walikota menghubungi langsung kepala stasiun jika kami sudah sesuai prosedur. Kepala stasiun berubah pikiran dan kami pun bersiap kembali ke Jakarta.
Selepas masalah itu, kami semua hanya tertawa. Menertawakan jika kami telah berhasil menyusuri Solo dengan bersepeda. Seperti saat pergi, kami kembali juga dengan kereta. Mengulang lagu Didi Kempot, sepeda, Solo dan kereta akan jadi kenangan untuk kami.
Tya Marenka
Tya Marenka
kegiatan yang asik...semoga cerita-ceritanya bisa terus dipublikasikan
BalasHapus