Euforia itu terlihat begitu kentara, saat Timnas berhasil melaju hingga ke final Piala AFF 2010. Kendati kalah, pasukan "Garuda" berhasil meneteskan setitik embun ke publik Indonesia yang telah lama haus dengan prestasi. Meski di penghujung perjalanan, lagi-lagi Indonesia kembali kandas.
Puja-puji diberikan banyak orang terhadap para pemain Timnas. Kendati sedikit miris, eksploitasi itu hanya orang per orang, padahal tim sepak bola tak hanya yang bertanding, tapi juga para pemain cadangan yang siap untuk tampil. Irfan Bachdim dan Christian Gonzales yang baru mengenakan seragam "Merah Putih" yang paling banyak disorot. Padahal, di tim ini masih ada seorang Muhammad Ridwan yang rajin menyisir lapangan dari sisi kanan atau Nasuha dari sisi kiri. Keduanya bahkan menyelamatkan wajah Indonesia di final kedua dengan masing-masing satu golnya. Meski dilihat dari sisi paras ada kewajaran, jika dua "bule" ini lebih dilirik para suporter dan pemburu berita yang ingin mengorek sisi pribadi alias infotainmen.
Tak kalah hebat barisan belakang Indonesia lainnya seperti Hamka Hamzah, Zulkifli Syukur dan Maman Abdurahman yang bersatu padu menjaga gawang Markus Horison tetap bersih dari gol. Kendati banyak dihujat kedua pemain ini karena sering melakukan blunder, tapi, berkat keduanya, Indonesia hanya satu kali kalah.
Ahmad Bustomi, serta jendral lapangan tengah Firman Utina yang menjadi roh permainan Timnas tak terbilang jasanya. Permainan cepat Timnas dan aliran bola dari lini tengah berkat permainan kaki ke kakinya yang luar biasa. Ryan Giggs Indonesia "Oktovianus Maniani" boleh jadi bintang sesungguhnya. Meski bertubuh kecil, namun Okto seolah tak pernah patah semangat menembus barisan pertahanan lawan yang tingginya jauh melebihi dirinya.
Super saver, Arif Suyono. Pemain cadangan berkualitas inti. Itu yang layak disematkan padanya. Banyaknya pilihan di lini tengah memang membuat Arif harus puas menadi pemain pengganti. Tapi, posisi ini tak membuatnya patah semangat, sebaliknya dia buktikan dengan selalu menjadi kunci bagi Timnas memecah kebuntuan.
Pujian-pujian ini seharusnya layak juga diberikan kepada Yongki Aribowo, Johan Juansyah, Yesaya Desnam, Bambang Pamungkas, Eka Ramdani, Ferry Rotinsulu, Kurnia Mega, M. Roby, Beny Wahyudi, hingga Tony Sucipto.
Terlepas dari tradisi latah orang Indonesia, yang terkadang menyukai satu hal dalam waktu bersamaan, Irfan Bachdim mania or Gonzales Mania. Tapi, itulah realita di Indonesia. Semua menyukai keseragaman.
Kembali ke euforia, semua ternyata berubah dalam hitungan hari. Segala hal yang memberikan pujian berubah menjadi perang statemen saat kompetisi baru lahir yang bernama Liga Primer Indonesia (LPI). Perang statemen karena LPI bukan lagi berbentuk ide, melainkan sudah menjadi nyata.
PSSI mencoba menahan dengan mengeluarkan berbagai cara, mengorek setiap peraturan. Mulai dari Undang-Undang No 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, hingga statuta PSSI yang merupakan turunan dari statuta FIFA. PSSI mencoba meneggakkan aturan dengan setegas-tegasnya dengan deretan aturan ini.
Ehmmm...aturan? Ini sedikit mengganggu. Kenapa saat mulai terjepit PSSI mencoba meneggakkan aturan. Kemana aturan itu, ketika masalah-masalah menumpuk menghinggapi organisasi sepak bola di Tanah Air ini. Yang paling nyata adalah hasil Munas 2007 yang nyata-nyata melanggar statuta FIFA karena Ketua Umumnya mantan narapidana. Bukan menaati peraturan FIFA, PSSI mempelesetkannya dan mengubahnya hingga ketuanya kembali tak tersentuh.
Tak hanya PSSI yang giat mengeluarkan ajian undang-undang. Kementrian Pemuda dan Olahraga juga giat mencari cara untuk menemukan solusi, katanya demi kebaikan sepak bola nasional. Ok, alasan yang masuk akal. Tapi, kenapa Kemenegpora yang bergerak lebih sigap? Kemana para pengurus LPI saat mereka belum mengantongi ijin? Jadi, timbul banyak pertanyaan karena ini.
Dari kedua pihak, Kemenegpora tentu lebih sakti. Dengan undang-undang yang sama, ditambah turunannya, akhirnya surat ijin itu keluar dengan begitu mudah. Abrakadabra.....dan LPI pun melenggang tanpa ada halangan. Bahkan, suara dari mbahnya PSSI, FIFA tak digubris. Meski pernyataan dari FIFA yang keluar sehari sebelum LPI digelar juga sedikit dipertanyakan. Karena, pernyataan itu keluar dari wakil FIFA yang datang pada Munas 2008 lalu di Ancol yang mensahkan statuta PSSI yang melanggengkan kekuasaan Puang.
Soal wakil FIFA ini, kenangan 2008 itu jadi terbuka. Sore itu, saya menuju hotel Horison di Ancol bersama kendaraan kantor yang membawa saya hingga ke Utara Jakarta. Di sana saya ingat betul, sempat menunggu lama di tempat jumpa pers, setelah seluruh anggota PSSI melakukan rapat. Sambil menunggu, saya hanya bisa bercengkrama dengan beberapa wartawan olahraga lainnya.
Akhirnya acara jumpa pers dilaksanakan. Puang didampingi para stafnya, dan tentu saja wakil FIFA itu. Anehnya, kami tak diperkenankan bertanya apapun kepada wakil FIFA itu, termasuk soal pasal yang krusial menyangkut Puang. Bahkan, sebelum jumpa pers berakhir, wakil dari FIFA itu pergi tanpa berkata apapun. (apakah ada rahasia? tak ada yang tahu?)
Kembali ke undang-undang. Dalam keadaan terjepit, kenapa undang-undang dijadikan pedoman oleh semua pihak. Seolah setiap pihak memiliki hak atas apa yang dimilikinya, tanpa teringat apa kewajiban mereka. Padahal, tak ada kebenaran yang mutlak, kecuali kebenaran milik Tuhan.
Semua kembali kepada masalah yang sama. Perseteruan. Kisah ini seperti tak pernah habis dari olahraga Indonesia. Belum lama sebelum ada konflik terbuka ini, kisah PAL dan KONI begitu mencuat, hingga ada perubahan Program yang begitu drastis di awal 2010 lalu. Belum lagi kisah-kisah lainnya di cabang yang lain.
Egoisme dan status quo yang berusaha dipertahankan oleh para pengurus olahraga, siapapun itu. Mereka lupa, diantara konflik mereka ada atlet yang selalu jadi korban. Jika mereka memikirkan para atlet, kebenarannya perlu dipertanyakan.
Satu hal lagi, sepak bola tak hanya satu-satunya cabang olahraga yang harus diurusi. Cabang lain yang berprestasi seharusnya juga dilirik dan diusahakan untuk dikembangkan. Angkat besi telah menorehkan prestasi emas, tak hanya di tingkat Asia Tenggara atau Asia, tapi di tingkat dunia. Padahal, ruang latihan tim angkat besi tak jauh lebih baik dari timnas Indonesia yang selalu mendapatkan fasilitas lebih. Bahkan, sebelum mendapatkan tempat latihan baru di sebelah kiri pintu kuning Senayan, tim angkat besi berlatih di kiri pintu kuning yang pengap karena hanya memiliki satu kipas angin besar. Jangankan atlet yang berlatih keras, awak media pun harus berkucuran keringat jika masuk ke tempat latihan lama tim angkat besi. Miris!
Bulutangkis tak perlu disebutkan lagi, cabang ini masih jadi kebanggaan yang tak terkira karena bertahun-tahun selalu mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Taufik Hidayat, Markis Kido/Hendra Setiawan, serta mantan-mantan pebulutangkis lain telah mengukir tinta emas pada namanya karena mengharumkan nama bangsa dengan prestasi menjulang.
Cabang-cabang lain juga tak kalah berprestasinya. Balap sepeda, layar, judo, karate, renang, senam, dan banyak lagi yang lain. Untuk itu, jangan habiskan energimu hanya untuk satu cabang olahraga saja pak!....
Tya Marenka
Goresan keprihatinan atas olahraga Indonesia....
Puja-puji diberikan banyak orang terhadap para pemain Timnas. Kendati sedikit miris, eksploitasi itu hanya orang per orang, padahal tim sepak bola tak hanya yang bertanding, tapi juga para pemain cadangan yang siap untuk tampil. Irfan Bachdim dan Christian Gonzales yang baru mengenakan seragam "Merah Putih" yang paling banyak disorot. Padahal, di tim ini masih ada seorang Muhammad Ridwan yang rajin menyisir lapangan dari sisi kanan atau Nasuha dari sisi kiri. Keduanya bahkan menyelamatkan wajah Indonesia di final kedua dengan masing-masing satu golnya. Meski dilihat dari sisi paras ada kewajaran, jika dua "bule" ini lebih dilirik para suporter dan pemburu berita yang ingin mengorek sisi pribadi alias infotainmen.
Tak kalah hebat barisan belakang Indonesia lainnya seperti Hamka Hamzah, Zulkifli Syukur dan Maman Abdurahman yang bersatu padu menjaga gawang Markus Horison tetap bersih dari gol. Kendati banyak dihujat kedua pemain ini karena sering melakukan blunder, tapi, berkat keduanya, Indonesia hanya satu kali kalah.
Ahmad Bustomi, serta jendral lapangan tengah Firman Utina yang menjadi roh permainan Timnas tak terbilang jasanya. Permainan cepat Timnas dan aliran bola dari lini tengah berkat permainan kaki ke kakinya yang luar biasa. Ryan Giggs Indonesia "Oktovianus Maniani" boleh jadi bintang sesungguhnya. Meski bertubuh kecil, namun Okto seolah tak pernah patah semangat menembus barisan pertahanan lawan yang tingginya jauh melebihi dirinya.
Super saver, Arif Suyono. Pemain cadangan berkualitas inti. Itu yang layak disematkan padanya. Banyaknya pilihan di lini tengah memang membuat Arif harus puas menadi pemain pengganti. Tapi, posisi ini tak membuatnya patah semangat, sebaliknya dia buktikan dengan selalu menjadi kunci bagi Timnas memecah kebuntuan.
Pujian-pujian ini seharusnya layak juga diberikan kepada Yongki Aribowo, Johan Juansyah, Yesaya Desnam, Bambang Pamungkas, Eka Ramdani, Ferry Rotinsulu, Kurnia Mega, M. Roby, Beny Wahyudi, hingga Tony Sucipto.
Terlepas dari tradisi latah orang Indonesia, yang terkadang menyukai satu hal dalam waktu bersamaan, Irfan Bachdim mania or Gonzales Mania. Tapi, itulah realita di Indonesia. Semua menyukai keseragaman.
Kembali ke euforia, semua ternyata berubah dalam hitungan hari. Segala hal yang memberikan pujian berubah menjadi perang statemen saat kompetisi baru lahir yang bernama Liga Primer Indonesia (LPI). Perang statemen karena LPI bukan lagi berbentuk ide, melainkan sudah menjadi nyata.
PSSI mencoba menahan dengan mengeluarkan berbagai cara, mengorek setiap peraturan. Mulai dari Undang-Undang No 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, hingga statuta PSSI yang merupakan turunan dari statuta FIFA. PSSI mencoba meneggakkan aturan dengan setegas-tegasnya dengan deretan aturan ini.
Ehmmm...aturan? Ini sedikit mengganggu. Kenapa saat mulai terjepit PSSI mencoba meneggakkan aturan. Kemana aturan itu, ketika masalah-masalah menumpuk menghinggapi organisasi sepak bola di Tanah Air ini. Yang paling nyata adalah hasil Munas 2007 yang nyata-nyata melanggar statuta FIFA karena Ketua Umumnya mantan narapidana. Bukan menaati peraturan FIFA, PSSI mempelesetkannya dan mengubahnya hingga ketuanya kembali tak tersentuh.
Tak hanya PSSI yang giat mengeluarkan ajian undang-undang. Kementrian Pemuda dan Olahraga juga giat mencari cara untuk menemukan solusi, katanya demi kebaikan sepak bola nasional. Ok, alasan yang masuk akal. Tapi, kenapa Kemenegpora yang bergerak lebih sigap? Kemana para pengurus LPI saat mereka belum mengantongi ijin? Jadi, timbul banyak pertanyaan karena ini.
Dari kedua pihak, Kemenegpora tentu lebih sakti. Dengan undang-undang yang sama, ditambah turunannya, akhirnya surat ijin itu keluar dengan begitu mudah. Abrakadabra.....dan LPI pun melenggang tanpa ada halangan. Bahkan, suara dari mbahnya PSSI, FIFA tak digubris. Meski pernyataan dari FIFA yang keluar sehari sebelum LPI digelar juga sedikit dipertanyakan. Karena, pernyataan itu keluar dari wakil FIFA yang datang pada Munas 2008 lalu di Ancol yang mensahkan statuta PSSI yang melanggengkan kekuasaan Puang.
Soal wakil FIFA ini, kenangan 2008 itu jadi terbuka. Sore itu, saya menuju hotel Horison di Ancol bersama kendaraan kantor yang membawa saya hingga ke Utara Jakarta. Di sana saya ingat betul, sempat menunggu lama di tempat jumpa pers, setelah seluruh anggota PSSI melakukan rapat. Sambil menunggu, saya hanya bisa bercengkrama dengan beberapa wartawan olahraga lainnya.
Akhirnya acara jumpa pers dilaksanakan. Puang didampingi para stafnya, dan tentu saja wakil FIFA itu. Anehnya, kami tak diperkenankan bertanya apapun kepada wakil FIFA itu, termasuk soal pasal yang krusial menyangkut Puang. Bahkan, sebelum jumpa pers berakhir, wakil dari FIFA itu pergi tanpa berkata apapun. (apakah ada rahasia? tak ada yang tahu?)
Kembali ke undang-undang. Dalam keadaan terjepit, kenapa undang-undang dijadikan pedoman oleh semua pihak. Seolah setiap pihak memiliki hak atas apa yang dimilikinya, tanpa teringat apa kewajiban mereka. Padahal, tak ada kebenaran yang mutlak, kecuali kebenaran milik Tuhan.
Semua kembali kepada masalah yang sama. Perseteruan. Kisah ini seperti tak pernah habis dari olahraga Indonesia. Belum lama sebelum ada konflik terbuka ini, kisah PAL dan KONI begitu mencuat, hingga ada perubahan Program yang begitu drastis di awal 2010 lalu. Belum lagi kisah-kisah lainnya di cabang yang lain.
Egoisme dan status quo yang berusaha dipertahankan oleh para pengurus olahraga, siapapun itu. Mereka lupa, diantara konflik mereka ada atlet yang selalu jadi korban. Jika mereka memikirkan para atlet, kebenarannya perlu dipertanyakan.
Satu hal lagi, sepak bola tak hanya satu-satunya cabang olahraga yang harus diurusi. Cabang lain yang berprestasi seharusnya juga dilirik dan diusahakan untuk dikembangkan. Angkat besi telah menorehkan prestasi emas, tak hanya di tingkat Asia Tenggara atau Asia, tapi di tingkat dunia. Padahal, ruang latihan tim angkat besi tak jauh lebih baik dari timnas Indonesia yang selalu mendapatkan fasilitas lebih. Bahkan, sebelum mendapatkan tempat latihan baru di sebelah kiri pintu kuning Senayan, tim angkat besi berlatih di kiri pintu kuning yang pengap karena hanya memiliki satu kipas angin besar. Jangankan atlet yang berlatih keras, awak media pun harus berkucuran keringat jika masuk ke tempat latihan lama tim angkat besi. Miris!
Bulutangkis tak perlu disebutkan lagi, cabang ini masih jadi kebanggaan yang tak terkira karena bertahun-tahun selalu mampu memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Taufik Hidayat, Markis Kido/Hendra Setiawan, serta mantan-mantan pebulutangkis lain telah mengukir tinta emas pada namanya karena mengharumkan nama bangsa dengan prestasi menjulang.
Cabang-cabang lain juga tak kalah berprestasinya. Balap sepeda, layar, judo, karate, renang, senam, dan banyak lagi yang lain. Untuk itu, jangan habiskan energimu hanya untuk satu cabang olahraga saja pak!....
Tya Marenka
Goresan keprihatinan atas olahraga Indonesia....
Komentar
Posting Komentar