Suatu malam pada 2002 atau mungkin 2003, gw ingat betul ketika sepupu gw terbaring lemah di UGD RSCM. Kecelakaan yang menimpanya membuat dia harus mendapat perawatan intensif. Saat kritis, di UGD, gw ingat betul di samping dia ada seorang lelaki setengah baya...dia seorang tukang parkir yang tertabrak mobil, begitu kata temannya, dibalik pintu UGD.
Ketika itu, RSCM tidak seketat seperti sekarang, dari balik UGD, gw dapat melihat langsung sepupu gw. Ya, butuh uang lima juta di depan administrasi mereka, ketika sepupu gw baru mendapatkan perawatan (gw ingat gw harus balik dari Salemba ke Sawangan, Depok untuk mencari pinjaman dan mengambil uang yang ada di keluarga, walaupun itu tengah malam). Tapi, apa yang terjadi dengan tukang parkir itu?
Ini yang ga akan pernah gw lupakan....gw ingat betul ketika ada seorang dokter perempuan (kata keluarga gw mungkin dia dokter baru)..mungkin juga...tapi bukan itu yang gw ingat, tapi perkataannya untuk si tukang parkir...dengan sepatu hak tinggi, dokter cantik dan terlihat parlente itu mondar mandir disampingnya. Paha kanan si tukang parkir yang hancur terlihat jelas ketika kain penutupnya tersingkap. Dengan enteng si dokter berkata, "Wah, ini mah ga ada duitnya," kata dokter itu sambil menunjuk si tukang parkir.
Tak berselang lama, si tukang parkir menghembuskan nafas terakhirnya. Ajal...mungkin ya...tapi apakah pembiaran tanpa perawatan tak lebih dari pembunuhan. Hanya Tuhan yang dapat menentukan ini. Tapi, betapa terpukul gw ketika melihat istri si tukang parkir datang tergopoh-gopoh sambil menuntun anaknya yang paling tua dan menggendong bayi mungilnya. Isak tangis pecah di depan pintu UGD. Gw hanya bisa diam…diam tak bergerak tanpa bisa mengeluarkan kata-kata apapun dengan memendam amarah dan kesal. Karena cuma itu yang gw bisa lakukan. Gw tidak berdaya.
Begitu murahkah harga nyawa bagi seorang dokter. Gw jurnalis, kami memiliki etika tentang bagaimana kami harus menjalankan fungsi kami sebagai pewarta dengan tetap berjalan sesuai koridor dan kaidah-kaidah etika itu.
Gw liat dari kode etik kedokteran dari dua pasal di bawah ini:
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Gw gak tau apa yang salah dari dua kode etik ini. Jelas-jelas terlihat bahwa seorang dokter harus menjalani dua etika ini dalam tugasnya. Terlebih jika dia bertugas di sebuah rumah sakit negeri yang berasal dari pajak yang dibayar rakyat, baik yang kaya maupun yang miskin membayar untuk ini. Tapi, banyak dari mereka pongah, menganggap rumah sakit itu milik bapak moyangnya. Maaf, untuk kalimat terakhir karena gw sudah terlalu marah dengan sikap mereka.
Kenangan itu begitu membekas diingatan gw hingga sekarang. Anehnya, dua kali lagi gw harus berurusan dengan rumah sakit yang dibangun oleh negara.
Pertama, RS Fatmawati ketika ibu kandung gw harus berjuang dengan penyakitnya. Gw sama beliau jarang bertemu, ketika akhirnya adikku mengambarkan ibu sakit dan harus dirawat. Keluarga kandung gw telah lama mengalami masalah ekonomi, sejak ayah tiri gw meninggal. Makanya, ke rumah sakit butuh uang banyak dan perjuangan keras terutama dari adik gw.
Ketika dikabarkan ibu gw masuk rumah sakit, gw masih di kantor. Tapi, gw bergegas pulang untuk datang ke Fatmawati. Di sana, adik gw sejak pagi menunggu lama agar ibu dapat perawatan tapi sampai gw datang, belum sekalipun ibu mendapatkan perawatan dari dokter. Betapa kesalnya gw…walau sedari kecil gw tak merasakan belaian beliau tapi tak tega rasanya melihat orang yang telah melahirkanku terkulai tak berdaya di atas tempat tidur, tanpa ada tindakan apapun. Amarah gw memuncak hingga akhirnya sampai harus adu mulut dengan pihak administrasi…baru mereka mau merawatnya…berminggu-minggu ibu dirawat di sana. Namun takdir telah ditentukan Tuhan, ibuku meninggal sehari setelah keluar dari rumah sakit.
Gw belajar satu hal paling besar. Di negeri ini, orang miskin dilarang sakit. Jangan pernah bersandar pada intelektual para pengurus rumah sakit, termasuk dokter. Walau mereka memiliki titel tinggi, dianggap memiliki derajat lebih tinggi karena mengenyam pendidikan yang jauh lebih hebat dibandingkan lulusan apapun, tapi tanpa nurani, bagi gw bullshit.
Ya, layaknya koruptor. Tengok saja di negeri ini, siapa para koruptor. Maling-maling uang rakyat yang dengan seenaknya menimbun kekayaan demi diri sendiri. Mantan menteri, mantan pejabat, mantan anggota DPR. Dari jabatan itu jelas bukan maling ayam yang rata-rata tidak lulus SD yang mencuri demi mengisi perutnya yang lapar. Tapi, koruptor. Tanpa merampas uang rakyat, sebenarnya mereka masih dapat mengisi perut. Tapi, apa yang mereka lakukan. Bergaya laksana dajal yang tak pernah puas dengan apa yang telah dia miliki. Nafsu yang dimiliki semua manusia tapi jika berlebihan maka layak disebut dajal.
Dokter juga manusia, itu juga gw harus akui. Nafsu terkadang membuat mereka harus memilih. Materi yang telah mereka keluarkan untuk menjadi seorang dokter tidak kecil harganya. Orang awam pun tahu itu. Sehingga mereka juga perlu meraih kembali apa yang telah mereka keluarkan. Itu manusiawi.
Tapi, apakah semua itu menjadi pemakluman. Dimana bisa dicari pengganti nyawa. Jika bergaya laksana Tuhan, siapa yang perlu hidup dan perlu mati. Memang tak semua dokter bergaya seperti ini. Masih ada nurani-nurani tersisa, sayangnya gw sendiri jarang menemukan itu. Bahkan, ketika tangan gw ditengadahkan ke atas, hanya beberapa jari gw yang mengacung.
Kekesalan gw hingga menulis seperti ini semakin memuncak, ketika tepatnya Sabtu, 14 Agustus 2010. Hari itu gw libur kerja. Karena bulan ramadhan, sehabis sahur dan shalat subuh, gw tidur. Biasanya, kalau libur, ibu yang membesarkan gw tak pernah membangunkan gw dari tidur jika belum tengah hari. Tapi, gw dibangunkan pas jam 10 pagi. Ternyata, bibi gw sakit dan sejak pagi buta sudah dibawa ke RSUD Depok.
Tapi, ketika gw dibangunkan, bibi gw yang satunya agak emosi menceritakan tentang apa yang terjadi. Ternyata, bibi gw yang sakit sejak pagi tak mendapat perawatan sama sekali. Kecuali dioper sana sini seperti bola. Bude dan pak de gw, yang juga adik dari bapak yang telah membesarkan gw bahkan dari ceritanya telah marah-marah hingga seisi UGD di maki-maki karena tak tega melihat bibi gw yang terkulai tak berdaya tanpa perawatan.
Dari cerita bude gw ini lebih mengejutkan. Ada seorang dokter, lagi-lagi perempuan. Adakah hati nurani dari seorang perempuan ini? Gw rasa tidak. Kenapa? Ini yang diceritakan bude gw. Bude gw minta bibi gw dirawat di UGD untuk sementara sebelum dibawa ke ruang perawatan. Tapi, apa yang dibilang si ibu dokter. Inilah yang memicu emosi gw lagi. “Bu, harga di UGD itu sangat mahal.”
Mahal. Kata itu dimaklumi bude gw. Wajar memang UGD memiliki tarif lebih mahal. Tapi, kalau perhitungan dari kacamata ekonomi, kontek kata mahal sangat wajar. Tapi, dihitung dari nyawa tak ada yang lebih mahal dari itu.
RSUD bahkan dibangun untuk dapat membantu masyarakat menengah ke bawah atau miskin untuk dapat mendapat perawatan kesehatan yang layak. Di tengah mahalnya rumah sakit swasta atau rumah sakit berlabel internasional.
Gw jadi semakin mengerti. Tak ada tempat dimanapun di negeri ini bagi orang miskin yang sakit. Mungkin juga yang ditayangkan televisi selama ini memang benar adanya. Bagaimana seorang ibu meminta seorang Presiden untuk dapat mengobati anaknya yang luka bakar karena meledaknya gas tabung. Atau juga orang-orang sakit yang kebetulan disorot televisi sehingga banyak orang yang terenyuh untuk membantu. Sedangkan para aparat, berlomba-lomba mencari muka untuk dapat menyelamatkan jabatannya ketika tahu ada warganya yang sakit diekspos televisi. Antara ketulusan dan keterpaksaan menjadi ambigu.
Tulisan ini hanya gambaran kecil, mungkin banyak orang lain yang merasakan hal sama dengan gw. Di sudut sana, di pelosok sana, atau mungkin di samping rumah pak Presiden. Siapa yang tahu? Kecuali televisi menyorotnya atau ibu atau bapaknya nekat membawa anaknya ke depan pejabat sambil merengek menangis.
Sedih ya. Tapi inilah gambaran Indonesia sesungguhnya.
Nyawa manusia seolah seperti nyamuk yang terbang di malam hari. Perumpaan yang bisa anda artikan sendiri.
Tya Marenka
berita ini jadi buktinya
ICW prihatin layanan rumah sakit bagi warga miskin
Minggu, 20 Desember 2009 | 19:02 wib ET (kabarbisnis.com)
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) prihatin terhadap layanan rumah sakit bagi warga miskin. Hasil survey ICW membuktikan 68 % pasien miskin tidak mendapatkan pelayanan yang memadai, malah sikap buruk dan tak peduli dari rumah sakit selalu ditujukan bagi orang-orang miskin yang mendapatkan kesehatan yang baik.
"Survey terhadap 738 responden pada November 2009 di wilayah Jakarta, Bogor, depok, Tanggerang dan Bekasi (Jabodetabek) menunjukkan sebagian besar pasien mengeluhkan pelayanan yang yang buruk, urusan administrasi yang berbelit-belit, kunjungan dokter yang sangat minim, pelayanan petugas kesehatan lambat, serta sarana kesehatan yang buruk," ungkap Ade Irawan, Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW di Jakarta, Ahad (20/12/09).
Hasil Survey dilakukan terhadap 23 rumah sakit di Jabodetabek dengan metode random bagi 738 pasien miskin dengan komposisi 38,3% pasien laki-laki dan 61,7 % pasien perempuan. Para pasien miskin, memegang kartu jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas), kartu Keluarga Miskin (Gakin) dan surat keterangan tidak mampu.
Ternyata hasil survey, sambung Ade, masih banyak pasien terutama orang miskin yang ditolak. Apalagi pasien itu memiliki kartu orang miskin, sederet jurus penolakan disampaikan rumah sakit, seperti alasan dokter tidak ada, obat belum tersedia, disuruh datang lagi esok dan segudang alasan lain yang menyakitkan.
Selain itu, beberapa hal yang menjadi keluhan pasien adalah kurang ramahnya dokter dan perawat, penolakan pada pasien miskin dengan alasan kamar penuh dan pembayaran uang muka sebelum mendapatkan pelayanan.
"Kita minta Menkes segera membentuk badan pengawasan RS sebagaimana diatur UU RS dengan harapan mampu mengawasi pelayan Rumah sakit bagi orang miskin. Mengingat, selama ini pemerintah gembor-gembor bahwa pasien yang kurang beruntung dalam segi ekonomi akan mendapatkan pelayanan utama ternyata antara ucapan dengan kondisi lapangan jauh berbeda," tambah staf peneliti korupsi kesehatan ICW Ratna Kusumaningsih.
Ratna juga meminta RS meningkatkan pelayanan terhadap pasien miskin terutama yang berkaitan dengan kunjungan dokter, kecepatan pelayanan kesehatan dan peningkatan sarana RS. Informasi dan hak pasien juga harus diberikan sesuai standar Rumah sakit. Kbc10
Komentar
Posting Komentar