Menjadi seorang ayah spesial artinya bagi Taufik Hidayat. Sejak kelahiran anak pertamanya Natarina Alika Hidayat, buah cintanya bersama Ami Gumelar pada 3 Agustus 2007 lalu, pebulutangkis
Ata, begitu panggilan akrab Taufik. Baginya, setiap waktu penting artinya untuk dapat melihat Ata yang kini berusia 1,5 tahun. Polah tingkah Ata tiap waktu menjadi momen berharga yang tak ingin dilewatkan.
Di usianya yang masih belia, Ata yang bak kertas putih sedang berusaha menyerap seluruh pelajaran yang ada di sekitarnya. Tak ayal, pelan tapi pasti Ata mulai mengerti apa yang terjadi.
Terkadang Taufik tak percaya, bahkan ketika buah hatinya sudah lancar bicara. Satu ketika, Ata pernah mengucapkan kata handuk hanya dengan kata belakang duk, kini ia sudah menyebutkannya lengkap.
“Amaze jika melihat dia. Hal kecil bagi saya menjadi besar. Terkadang kaget saja, eh ternyata sudah bisa ngomong,” kata Taufik di kediamannya.
Tak heran dengan pertumbuhan cepat anaknya. Peraih emas Olimpiade Athena 2004 ini berusaha keras menyempatkan waktu membaginya dengan Ata. Tiap pagi atau sore hari, menantu Agum Gumelar ini berusaha keras untuk bermain dengan anaknya. Meski kesibukan sebagai pebulutangkis dan bisnis yang dikembangkannya menumpuk.
“Setiap waktu berharga sekali. Kalau sore, saya sempatkan waktu sebelum maghrib sudah ada di rumah. Kalau memang ada keperluan malam hari, saya usahakan kembali dulu ke rumah baru jalan lagi,” jelas Taufik.
Bahkan jika hari libur tiba. Tak ada siapapun yang dapat mengganggu diri penyuka Seafood dan makanan Jepang ini untuk menghabiskan waktu bersama sang anak.
Tahun ini, Taufik berniat untuk menambah anak. Ia ingin Ata memiliki adik agar suasana rumahnya bertambah
Meski masih belia, Ata ternyata tahu betul siapa ayahnya. Seorang pebulutangkis kelas dunia yang pernah menorehkan sederet prestasi mumpuni. Mengharumkan nama
Bukti kecil sering ditunjukan Ata di pagi hari. Saat papa - begitu panggilan Ata untuk Taufik- berangkat berlatih. “Dia tahu banget saya pebulutangkis. Mamanya tiap pagi selalu tanya, Ata papa mau kemana?,” ucap Taufik. “Kalau saya menggunakan pakaian untuk latihan, dia bilang smash. Artinya saya mau berlatih,” tuturnya. Sedangkan jika saya rapi dengan pakaian kantor, Ata akan jawab office,” lanjutnya.
Tak hanya itu, kala Taufik bertanding, Ata kerap berada disisi lapangan bersama istrinya. Dari jauh Ata tak pernah lekang menatap ayahnya di tengah permainan menghadapi lawan. Tak ada teriakan untuk membela sang ayah, maklum di usianya yang sangat belia dia belum mengerti sepenuhnya. Tapi, Ata menyaksikan sang ayah dengan seksama. Bahkan diam saat ayunan raket Taufik terus berjalan hingga pertandingan usai.
Sikap ini ditunjukan jelas Ata saat ikut bersama Taufik nonton pertandingan dirinya di Olimpiade
Bagi Taufik, Ata harus tahu siapa dirinya. Anehnya, Taufik tak pernah berharap anaknya mengikuti jejak langkahnya terjun sebagai atlet. Suramnya masa depan atlet tak ingin menjadi momok untuk buah hatinya. Maklum, mantan atlet di
Taufik tahu betul soal ini. Minimnya apresiasi dan penghargaan sebagai atlet yang pernah mengharumkan nama bangsa membuatnya enggan mengenalkan olahraga kepada Ata untuk menjadi tumpuan hidup.
“Kalau hanya untuk hobi boleh saja. Tapi saya tidak ingin dia jadi atlet. Itu saja,” ungkapnya pasti.
Tidak adanya penghargaan yang layak sebagai atlet seolah membirukan hati Taufik untuk tak membiarkan anaknya menempuh garis hidup yang sudah dijalaninya. Sebagai juara dunia, emas Olimpiade dan Asian Games, serta puluhan kali membela nama
Rasa kecewa langsung menggelayuti Taufik jika berbicara soal ini. Betapa tidak, 12 tahun bersama di pelatnas Cipayung seolah tak membekas sedikitpun di hati para pengurus PBSI. Peluh keringat dan cucuran air mata meninggalkan bangku sekolah seakan tak terbayarkan.
Keprihatinan juga menyelubung dalam hatinya. Bak habis manis sepah dibuang itu yang dilakukan PBSI terhadap para pemain dan pelatih yang tak dipanggil lagi. “Bayangkan saja, sebelum Munas kami diberikan
Jika menengok ke negara tetangga. Seharusnya pemerintah sedikit belajar dari Negeri Jiran soal bagaimana menghargai mantan atlet. Lee Chong Wei yang merebut medali emas Olimpiade tahun lalu, mendapat pensiun hingga akhir hidupnya. Cukup untuk membiayai hidup dan masa depannya.
“Itu lebih baik. Kita dapat usaha sendiri. Kalau saya masuk PNS, saya tidak memiliki keahlian. Tak juga bisa membayangkan, misalnya juara dunia harus kerja di lapangan, PU misalnya,” pungkasnya. O tya marenka
Biodata
Nama: Taufik Hidayat
Lahir:
Postur: 176 cm/64 kg
Klub: SGS
Orang tua: Aris Haris/Enok Dartilah
Istri: Armidianti Gumelar
Anak: Natarina Alika Hidayat
Hobi: Sepak bola
Masuk Tim Thomas: 2000, 2002, 2004, 2006, 2008
Masuk Tim Sudirman: 1999, 2001, 2003, 2005, 2007
Prestasi:
- 6 kali juara Indonesia Terbuka, 1999, 2000, 2002, 2003, 2004, 2006
- 2 kali juara Piala Thomas, 2000, 2002
- 3 kali juara
- 2 kali emas Asian Games, 2002, 2006
- Emas Olimpiade 2004
- Juara Dunia 2005
- 2 kali juara Singapura Terbuka, 2001, 2005
- Juara Malaysia Terbuka 2000
- Juara Makau Terbuka 2008
- Juara Brunei Terbuka
-
- 2 kali runner-up All England 1999, 2000
- Runner-up Prancis Terbuka 2008
Penghargaan :
- Termasuk 100 besar atlet paling top di Beijing versi Times (peringkat ke-48)
- Warga negara kehormatan Yunani 2006
- Bintang jasa utama 2005
- Lion Award 2005
- Pemain terbaik versi IBF (sekarang BWF) 2006
- Termasuk 10 besar atlet terbaik dunia 2006
Komentar
Posting Komentar